Senin, 24 September 2007

Pendidikan Nasional Masih Sentralistik

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Perubahan demi perubahan terus terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut kurikulum 2006. KTSP memberikan kebebasan kepada setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi masing-masing sekolah dan potensi daerah sekitar.
Desentralisasi pendidikan merupakan terobosan besar dalam pembangunan bangsa yang selama ini memakai paradigma top-down berubah menjadi memakai paradigma bottom-up. Sesuai dengan PP No.25 tahun 2000 maka sejumlah kewenangan dalam bidang pendidikan yang selama ini berada di pusat akan dilimpahkan kepada institusi penyelenggara pendidikan dalam bingkai pemerintah daerah dan sekolah, termasuk dalam hal pengembangan kurikulum sekolah yang sekarang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kini sekolah secara penuh memiliki otonomi dalam mengembangkan pendidikan. sekolah diizinkan untuk menyusun sendiri kurikulum yang akan diajarkan, tentunya tetap berdasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Depdiknas. Sekolah dapat memilih kurikulum mana yang sekiranya dibutuhkan di sekolah dapat di jalankan dengan keleluasaan. Begitu juga proses pembelajarannya dapat dilakukan sesesuai kebutuhan.
Namun, disamping proses desentralisasi yang ada saat ini, hal yang menarik adalah, di satu sisi pihak sekolah diberi kebebasan mengembangkan kreativitasnya dalam mengelola sekolah, baik menejemen maupun kurikulumnya, namun di sisi lain untuk masalah menentukan kelulusan siswanya masih tetap sentralisik. UN tetap menjadi tahapan yang harus dilewati siswa yang berasal dari berbagai sekolah yang telah menyusun sendiri kurikulumnya dan menentukan sendiri muatan materi dan kedalaman materi pokoknya. Tentu saja hal tersebut mengidentifikasikan bahwa KTSP digarap dengan kurang integral. KTSP yang berorientasi pada sekolah, berbeda dengan UN yang sentralistik. Disini Terjadi disintegrasi antara Otonomi Pendidikan dalam penyusunan kurikulum dan Sentralisasi pendidikan dalam hal kelulusan.
Alasan pemerintah untuk tetap melaksanakan UN adalah menjalankan amanat PP nomor 19 tahun 2005. padahal dengan tetap dilaksanakannya UN disekolah, berarti pemerintah masih menggunakan sistem Pendidikan yang Sentralistik. Disinilah terjadi ambivalensi antara sentralistik dan disentralistik dalam dunia pendidikan Indonesia.
Dengan masih diberlakukannya UN, sekolah tidak lagi memperhatikan bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan. Kalau yang dimenjadi target siswa adalah kelulusan dengan nilai bagus dan mendapatkan ijazah, tanpa memperhatikan niulai-nilai proses belajar, maka sekolah tidak lagi memiliki visi kebangsaan dan komitmen kemanusiaan serta etos keilmuan yang kuat.

Tidak ada komentar: