Kamis, 30 Mei 2013

Liberalisasi Pendidikan; Bentuk Ketidakadilan Terhadap Rakyat

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim


Gelombang arus globalisasi dan liberalisasi dunia modern yang telah dihantarkan oleh bergulirnya revolusi perancis (1789), telah memberikan dampak yang sangat siginifikan terhadap perubahan dalam berbagai aspek kehidupan ummat manusia abad ini. Dari perubahan itu tidak terkecuali dunia pendidikan yang notabeninya sebagai wadah pembelajaran, pembinaan dan pembentukan watak dan karakter manusia. Tidak terlepas dari pengaruh arus golalisasi dan liberalisasi itu sendiri.
Hal ini sudah kita ketahui semenjak pendidikan dimasukkan dalam wilayah liberalisasi pada tahun 1995, dan bergabungnya bangsa indonesia dalam penandatanganan General Agreement on Trade (GAT) yang sekarang difasilitasi oleh WTO. Bergabungnya indonesi dalam GAT dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Karena dari penilaian Negara-negara maju, meningkatnya jumlah kemiskinan di suatu Negara, disebabkan karena keterpurukan dan rendahnya kualitas pendidikan yang ada. Oleh sebab itu liberalisai pendidikan di Negara berkembang seperti Indonesi diharapkan akan memberikan semangat untuk bangkit dari keterpurukan dalam bidang pendidikan. Sekaligus membuka kompetisi pasar bebas dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan. Dengan demikian keberadaan lembaga pendidikan milik Negara akan bersaing dengan lembaga pendididikan suwasta yang memilki modal besar.
Namun munculnya wacana liberalisasi pendidikan banyak menuai kontrofersi dikalangan masyarakat. Menurut Ivan Illich dalam bukunya “Deschooling Sosiety”, bahwa Ketika segala kebijakan pendidikan sudah dipegang dan dikendalikan oleh kekuatan pasar (modal) yang dimilki oleh kaum kapitalis, maka sejak itulah ketidakadilan dalam mendapatkan kesempatan pendidikan akan tercipta. Karena untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tinggi harus diukur dengan kemepuan ekonomi. Hal seperti yang juga dihawatirkan oleh Paolo Friere dengan istilahnya “Budaya Bisu”. Ketika masyarakat bawah sudah tidak lagi mampu menjangkau pendidikan, karena struktur ekonomi yang rendah, maka kebodohan kolektif akan menjadi budaya yang berkepanjangan.
Ichsanuddin nursy, pengamat politik dan ekonomi berpendapat, bahwa sikap pemerintah yang mengamini dan mengimani adanya liberalisasi adalah salah satu bentuk penghianatan dan pelecehan terhadap UUD 1945. begitu pula dengan para tokoh dan praktisi pendidikan, seperti Tilaar yang memberikan pandangan, bahwa masuknya kekuatan pasar, budaya korupsi dan kekuatan industri akan mengarahkan misi pendidikan. Menurutnya Etika dan moral di dunia pendidikan akan dikuasai oleh etika dan moral bisnis yang berdasarkan pencarian keuntungan. Dampak dari liberalisasi pendidikan tersebut akan menggeser peran Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah tertuang dalam UUD 45. Terbukanya akses pasar dan industrialisasi pendidikan cendrung membuka akses bagi pemilik modal (Kapitalis) untuk mendektekan kepentingan dan kebutuhan oconomi mereka kepada dunia pendidikan. Walhasil, pendidikan akan hilang dan bergeser dari fungsi fundamintalnya sebagai proses memanusiakan manusia secara utuh. Dan menjadi lahan bagi kepentingan industri atau bisnis kaum kapitalis.
Adjisuksmo salah satu fungsionaris Badan Litbang Depdiknas berharap, dengan masuknya lembaga pendidikan asing/suwasta, mampu memicu dan memacu peningkatan kualitas pendidikan di indonesi. Serta akuntabilitas penyelenggaraan proses pendidikan bisa ditingkatkan. Akan tetapi, apakah dari mahalnya biaya pendidikan yang ditawarkan lembaga pendidikan asing/suasta itu akan memberikan jaminan terhadap meningkatnya mutu dan kualitas pendidikan?. Justru masyarakat menghawatirkan akan banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak mampu mendapatkan layanan pendidikan. Dan pada akhirnya bukan kesejahteraan yang akan diraih oleh bangsa ini. Akan tetapi keterpurukan dan kemiskinan akan meningkat. Apalagi anggaran pemerintah untuk pendidikan sangat kecil, itupun masih dipotong dan diselewengkan oleh para koruptor negeri ini. Bagaimana liberalisasi bisa dikatakan sebagai solusi dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa ini, jika tidak disertai dengan kesadaran para elit pemerintah untuk mengawal terwujudnya pendidikan yang lebih memanusiakan manusia.
Pemerintah dalam mengantisipasi liberalisasi pendidikan di negeri, supaya tidak merombak dan menggeser tujuan fundamental pendidikan, tidaklah cukup hanya meluncurkan undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah (PP). akan tetapi juga harus menyiapkan dan menyusun strategi jitu untuk bisa memberi posisi tawar lembaga pendidikan negeri dengan lembaga pendidikan suwasta. Terutama lembaga pendidikan asing. Sehingga lembaga pendidikan negeri tidak hanya menjadi penonton setia. Akan tetapi juga ikut aktif menjadi inspirator dan actor dalam membangun mutu pendidikan di Indonesia.

Penulis Adalah Direktur Sekolah Guru Kreatif (SGK) dan peneliti di Nafas Institute