Selasa, 25 September 2007

PENDIDIKAN BUKAN LAGI MILIK RAKYAT KECIL

Oleh ; Moh Fauzi Ibrahim

Arus globalisasi di seluruh sector kehidupan telah memberikan warna kapitalisasi dan komersialisasi terhadap dunia pendidikan di seluruh dunia. Termasuk bangsa Indonesia yang sudah terlanjur masuk pada wilayah kapitalisasi pendidikan dengan ikut serta menandatangani GATT, juga tidak luput dari serangan ganasnya hegemoni kekuatan kapitalisme global dalam dunia pendidikan. Siap tidak siap Indonesia sudah berada di lingkungan yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Oleh karena itu yang harus disiapkan bangsa Indonesia adalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan siap untuk melakukan perubahan yang seirama dengan gelombang globalisasi.
Konsekwensi logis dari terbukanya Indonesia terhadap kapitalisme global dalam dunia pendidikan adalah terjadinya industrialisasi pendidikan. Industrialisasi pendidikan berarti akan menjadikan pendidikan sebagai barang komuditi yang setiap saat dapat diperjual belikan oleh para pemilik modal. Kaum kapitalis akan lebih leluasa menancapkan hegemoninya untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi besar-besaran terhadap rakyat Indonesia. Kompetisi global dalam dunia pendidikan perlu disikapi dengan bijak. Karena hal itu akan melahirkan ketimpangan social yang tinggi antara si kaya dan simiskin.
Prancis Wahono dalam bukunya “Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan Sosial” berpendapat, bahwa Indonesia dan pada Negara –negara lain pada umumnya telah mengalami pergeseran paradigma pendidikan. Paradigma yang awalnya adalah pendidikan yang berbasis keadilan social menjadi paradigma yang berbasis pada kapitalisme. (2004). Pendidikan seyogyanya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat pada umumnya, namun pada saat ini, pendidikan hanya mampu diakses oleh orang-orang yang mempunyai modal yang cukup besar. Sedangkan orang-orang miskin hanya menjadi penonton di rumah sendiri.
Fenomina seperti ini dapat kita jumpai di beberapa wilayah di Indonesia. Program pemerintah yang ingin menggratiskan biaya sekolah bagi kaum miskin, ternyata kenyataan di lapangan masih banyak praktek pembiayaan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Padahal untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) pemerintah telah menetapkan untuk digratiskan. Disamping program menggratiskan biaya pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, pemerintah juga memberikan bantuan Dana Oprasional Sekolah (BOS). Akan tetapi itu semua tidak m,enjadikan pendidikan di Indonesia dapat dinikmati dan diakses oleh semua masyarakat, khususnya kaum miskin.
Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tinggi, kita harus berani mengeluarkan biaya yang cukup besar. Jadi, bagi yang tidak berani dan tidak mampu membayar, maka silahkan mereka menjadi orang yang tidak berpendidikan di sekolah. Padahal secara manusiawi, mereka sama-sama punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang 45, Negara punya kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, semestinya pendidikan tidak hanya dinikmati oleh mereka yang berduit saja. Akan tetapi pemerintah harus memberikan ruang dan waktu bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan.
Maraknya kompetisi diera Millenium development Goal telah memberikan kebebasab investor luar untuk berkompetisi dengan leluasa di dunia pendidikan. Maraknya lembaga pendidikan yang menawarkan aneka warna kelebihan dan kualitas, menjadi bagian dari kapitalisasi pendidikan. Karena dengan demikian, pasar akan menuntut agar output yang akan dihasilkan oleh setiap lembaga hjarus sejalan dengan kebutuhan pasar. Tuntutan semacam ini akan berdampak pada mahalnya biaya pendidikan yang berkualitas, hal ini disebabkan pendidikan yang berkualitas berarti lulusannya akan mudah masuk kedunia kerja, dan itulah yang sekarang menjadi keinginan masyarakat abad ini.
Dalam istilah Ivan Illich bahwa dengan menjadikan pendidikan sebagai komuditas, berarti telah pendidikan (sekolah) telah menjadikan anak didik dan orang tua sebagai alat mikanik yang kapan saja dapat mencetak uang dengan jumlah besar. Eksploitasi besar-besaran terhadap pendidikan teleh menjauhkannya dari peran kemanusiaan. Paradigma berkeadilan social hanya menjadi slogan blaka, pada kenyataannya pemerintah dan para pemodal menjadi satu kesatuan yang bekerja sama untuk menindas dan memeras rakyat Indonesia secara sistematis. Kekuatan swasta yang dimiliki oleh para kapitalis asing dan local lebih mendominasi dalam menggerakkan laju pendidikan di Indonesia. Sehingga control biaya pendidikan pun kurang terkendali oleh pemerintah sendiri.
Kemudian, bagaimana dengan nasib si miskin? Apakah mereka akan hidup dengan kemiskinan dan kebodohan selama-lamanya. Bodoh plus miskin merupakan satua kesatuan yang sebenarnya tidak diharapkan oleh mereka. Akan tetapi konstruksi kekuatan globalisasi dan penjajahan kemanusiaan telah menjadikan mereka harus hidup menderita seperti saat ini.
Kalau kita lihat di beberapa pinggiran dan pusat kota Jakarta, masih banyak rakyat yang anak-anak mereka menjadi pekerja diusia dini. Tidak jarang dari mereka menjadi pengemis dan pemulung sampah. Harapan masa depan mereka telah punah dirampas oleh penjahat kemanusiaan kapitalisme global. Kaum miskin kini hidup mereka semakin terjepit, dalam keadaan mereka yang tidak berpendidikan, apa yang dapt mereka lakukan untuk merupah nasip mereka?.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang mandiri dan besar di negeri sendiri, perlu sinergitas dari semua elemen yang ada di negeri ini. Pemerintah, parktisi, pengamat dan pemerhati pendidikan perlu duduk bareng. Kita harus menghilangkan kepentingan individu dan golongan demi menuju Indonesia maju. Perbaikan di tingkat parlemen dan pemerintah juga harus dibenahi. Begitu juga kepedulian masyarakat harus diakomudir oleh pemerintah. Akumulasi ide dan gagasan rakyat mungkin dapat membantu mengeluarkan kondisi pendidikan kita yang saat ini sangat kacau.
Kepedulian dan kesadaran orang-orang kaya juga perlu di bangun. Baik dengan memberikan bantuan beasiswa maupun mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum miskin. Sehingga SDM bangsa Indonesia dikit demi sedikit dapat dibangkitakan untuk melawan dan mengawal gelombang globalisasi. Apalagi Indonesia mencanangkan Millenium Development Goal akan dimajukan lebih cepat dari 2020 menjadi 2015. Indonesia harus menyiapkan tenaga SDM yang memadai. Sehingga Indonesia menjadi Negara yang mandiri bersaing di era kompetisi global.

Penulis adalah Direktur Sekolah Guru Kreatif Jakarta

Tidak ada komentar: