Selasa, 25 September 2007

Sajak-sajak keheningan malam

Rintihan jiwa

Malam ku tak tahu
Siang ku tak kenal
Ku bergelut dengan tikar
Ku bernyanyi dengan jari-jariku
Ku tak mengerti apa arti semua itu
Semakin lama ku hidup
Semakin sempit pandangnku
Jiwa menangis
Raga merintih
Tapi kenapa harus demikian?
Deru angin ku panggil
Sunyi malam ku undang
Tapi….
Dimana aku akan menikmatinya
Ku tak kenal malam
Ku tak tahu siang
Lalu dimana aku

Jum’at, 19-09-2007
Oleh : Moh Fauzi Ibrahim


DIMANA KAWANKU

Empat tahun Ku kenal dia
Ku berbgi cinta dengan dia
Hidup laksana benalu
Tak mampu hidup tanpanya
Tapi dimana dia sekarang
Apa dia sudah lupa ?
Kemana ku harus mencarinya
Ku rindu dia
Ku ingin bertemu dia
Tapi…
Apa dia ingat aku
Mungkin dia sudah senang
hidup bersama orang yang dia cintai…
kenapa ku yakin dia akan dating,
Dia akan kembali
Dia akan menemui aku lagi
Tapi……
Mungkinkah itu?


Jum’at, 19-09-2007
Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

MALAM

Malam……
Kau datang lagi
Kau kau tak pernah lelah dan bosan
Padahal manusia sering menghinamu
Malam ….
Kenapa kau begitu setia
Kau berikan dirimu untuk dinikmati
Semua mahluk istirahat dengan senyummu
Malam…..
Kenapa ku tidak bisa sepertimu
Ku tak mampu memberikan yang terbaik untuk orang lain yang hidup denganku
Malam……
Kau gelap, kau seram
Tapi semua orang menikmatimu dengan gembira
Kau sunyi, kau hampa
Tapi kenapa orang mengagumimu?
Kau hanya memberikan dirimu pada orang lain
Apakah kau tiada iri terhadap siang
Diman aktivitas dan keramaian berlangsung
Siang tempat maraih tujuan hidup
Dan siang penuh keramaian

Jum’at, 19-09-2007
Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Pencitraan Terhadap Perguruan Tinggi Islam

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Judul Buku : Hegemoni Kristen – Barat
Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi
Penulis : Adian Husaini
Penerbit : Gema Insani, Depok
Cetakan : I. Februari 2006
Tebal : XVIII + 298 Halaman

Seorang tokoh cendikiawan muslim Prof. Dr. HM. Rasjidi pernah mengingatkan betapa besar bahaya penggunaan metode orientalis dalam proses pelaksanaan studi Islam di perguruan Tinggi Islam. Karena dinilai metode orientalis akan mengikis otentisitas keilmuan islam yang selama ini dipertahankan.
Melihat perkembanagn perguruan tinggi Islam di Indonesia saat ini, ternyata perkataan dan Peringatan HM. Rasjidi terbuktikan oleh sejarah. Mungkin kita ingat peristiwa yang menghebohkan islam di Indonesia tepatnya tahun 2004, di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung mengeluarkan sebuah teriakan “Selamat bergabung di Area bebas Tuhan”. Begitu pula munculnya berbagai bentuk wacana kritik yang dekonstruktif dari kalangan akademisi IAIN/UIN terhadap khazanah tradisi islam. Seperti misalnya di IAIN Semarang yang memunculkan wacana legalisasi perkawinan Homoseksual. serta masih banyak lagi wacana – wacana menghebohkan lainnya.
Buku “Hegemoni Kristen-Barat; Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi” karya Adian Husaini ini merupakan buku yang mencoba untuk memeberikan taushiyah kepada kita, khususnya para akademisi Muslim di perguruan tinggi. Bahwa saat ini banyak terdapat tantangan keilmuan Islam yang selama ini banyak dirumuskan oleh para kaum orientalis barat. dan masalah ini juga telah dijelaskan oleh penulis dalam buku sebelumnya yang mendapatkan penghargaan buku terbaik non-fiksi di Arena Islamic Book Fair ke 5 yang berjudul “Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular Liberal”
Dari beberapa perguruan tinggi islam di Indonesia saat ini, telah banyak melahirkan wacana keislaman yang terlalu jauh membawa islam kepada dunia sekuler dan destruktif. Hal ini terjadi karena banyak saat ini perguruan tinggi menggunakan metode yang di munculkan oleh kaum Orientalis barat. tanpa mengkritisi dengan cermat, mana yang positif dan yang negatif dan dekonstruktif terhadap keilmuan islam.
Kerancuan yang sering terjadi terdapat pada tataran terminologis. Seperti terminologis antara inklusif dan pluralis dalam teologi yang berdampak pada perkembangan konsep-konsep pemikiran Islam (h.120)
Adian Husaini dalam buku ini,memberikan pandangan bahwa sebagai masyarakat global, IAIN/UIN memang tidak mungkin menutup diri dari perkembangan keilmuan Islam dan keilmuan agama dari manapun juga, khususnya yang disumbangkan oleh para orientalis di barat. Namun studi-studi agama yang berkembang di barat perlu dikaji dengan cermat dan kritis. (h. 122)
Akibat dari sikap perguruan tinggi yang masih banyak menggunakan metode yang dimunculkan oleh para kaum orientalis barat dalam studi islam, tanpa mengkaji dan menganalisisnya dengan cermat. Banyak para dosen dan segenap civitas akademika salah dalam memahami konsep barat tersebut. Sehingga tidak jarang pemahaman terhadap Islam yang mereka munculkan tidak sejalan dengan irama nafas islam yang sebenarnya.
Hal ini membuat citra Perguruan tingggi yang berlabel Islam, terutama IAIN/UIN menjadi buruk. Pencitraan itu diperparah dengan terbitnya sebuah buku yang menjustifikasi IAIN/UIN sebagai sarang orang–orang yang murtad. Yaitu buku karangan Hartono Ahmad Jaiz “Ada Pemurtadan di IAIN”. Dan saat itulah IAIN dianggap sebagai perguruan tinggi Islam yang mencetak dan mengembangkan pemikiran kaum sekuler.
Dari sini, Penulis menjelaskan, bahwa saat ini umat Islam Indonesia sedang menghadapi tiga tantangan besar yang ditimpakan peradaban Barat terhadap Islam. Yaitu; kristenisasi, Orientalisme dan imperialisme modern. Dan hal ini telah memasuki kampus-kampus yang berlebel Islam. Sehingga banyak perguruan tinggi Islam mengadopsi konsep, istilah dan metodologi barat dalam studi Islam.
Oleh karena itu dalam buku ini penulis menjelaskan agar supaya cara atau metodologi untuk mempelajari Islam sangat penting untuk ditelaah kembali. Dengan demikian mudah-mudahan kampus IAIN/UIN/STAIN/PTAIS tidak menjadi satelit atau agen pengembangan paham neoliberalisme di bidang agama yang sekarang sedang gencar-gencarnya diperbincangkan.

Penulis Adalah Presiden BEM Manajemen Pendidikan UIN Jakarta

PENDIDIKAN BUKAN LAGI MILIK RAKYAT KECIL

Oleh ; Moh Fauzi Ibrahim

Arus globalisasi di seluruh sector kehidupan telah memberikan warna kapitalisasi dan komersialisasi terhadap dunia pendidikan di seluruh dunia. Termasuk bangsa Indonesia yang sudah terlanjur masuk pada wilayah kapitalisasi pendidikan dengan ikut serta menandatangani GATT, juga tidak luput dari serangan ganasnya hegemoni kekuatan kapitalisme global dalam dunia pendidikan. Siap tidak siap Indonesia sudah berada di lingkungan yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Oleh karena itu yang harus disiapkan bangsa Indonesia adalah pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan siap untuk melakukan perubahan yang seirama dengan gelombang globalisasi.
Konsekwensi logis dari terbukanya Indonesia terhadap kapitalisme global dalam dunia pendidikan adalah terjadinya industrialisasi pendidikan. Industrialisasi pendidikan berarti akan menjadikan pendidikan sebagai barang komuditi yang setiap saat dapat diperjual belikan oleh para pemilik modal. Kaum kapitalis akan lebih leluasa menancapkan hegemoninya untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi besar-besaran terhadap rakyat Indonesia. Kompetisi global dalam dunia pendidikan perlu disikapi dengan bijak. Karena hal itu akan melahirkan ketimpangan social yang tinggi antara si kaya dan simiskin.
Prancis Wahono dalam bukunya “Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan Sosial” berpendapat, bahwa Indonesia dan pada Negara –negara lain pada umumnya telah mengalami pergeseran paradigma pendidikan. Paradigma yang awalnya adalah pendidikan yang berbasis keadilan social menjadi paradigma yang berbasis pada kapitalisme. (2004). Pendidikan seyogyanya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat pada umumnya, namun pada saat ini, pendidikan hanya mampu diakses oleh orang-orang yang mempunyai modal yang cukup besar. Sedangkan orang-orang miskin hanya menjadi penonton di rumah sendiri.
Fenomina seperti ini dapat kita jumpai di beberapa wilayah di Indonesia. Program pemerintah yang ingin menggratiskan biaya sekolah bagi kaum miskin, ternyata kenyataan di lapangan masih banyak praktek pembiayaan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Padahal untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) pemerintah telah menetapkan untuk digratiskan. Disamping program menggratiskan biaya pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, pemerintah juga memberikan bantuan Dana Oprasional Sekolah (BOS). Akan tetapi itu semua tidak m,enjadikan pendidikan di Indonesia dapat dinikmati dan diakses oleh semua masyarakat, khususnya kaum miskin.
Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tinggi, kita harus berani mengeluarkan biaya yang cukup besar. Jadi, bagi yang tidak berani dan tidak mampu membayar, maka silahkan mereka menjadi orang yang tidak berpendidikan di sekolah. Padahal secara manusiawi, mereka sama-sama punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang 45, Negara punya kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, semestinya pendidikan tidak hanya dinikmati oleh mereka yang berduit saja. Akan tetapi pemerintah harus memberikan ruang dan waktu bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan.
Maraknya kompetisi diera Millenium development Goal telah memberikan kebebasab investor luar untuk berkompetisi dengan leluasa di dunia pendidikan. Maraknya lembaga pendidikan yang menawarkan aneka warna kelebihan dan kualitas, menjadi bagian dari kapitalisasi pendidikan. Karena dengan demikian, pasar akan menuntut agar output yang akan dihasilkan oleh setiap lembaga hjarus sejalan dengan kebutuhan pasar. Tuntutan semacam ini akan berdampak pada mahalnya biaya pendidikan yang berkualitas, hal ini disebabkan pendidikan yang berkualitas berarti lulusannya akan mudah masuk kedunia kerja, dan itulah yang sekarang menjadi keinginan masyarakat abad ini.
Dalam istilah Ivan Illich bahwa dengan menjadikan pendidikan sebagai komuditas, berarti telah pendidikan (sekolah) telah menjadikan anak didik dan orang tua sebagai alat mikanik yang kapan saja dapat mencetak uang dengan jumlah besar. Eksploitasi besar-besaran terhadap pendidikan teleh menjauhkannya dari peran kemanusiaan. Paradigma berkeadilan social hanya menjadi slogan blaka, pada kenyataannya pemerintah dan para pemodal menjadi satu kesatuan yang bekerja sama untuk menindas dan memeras rakyat Indonesia secara sistematis. Kekuatan swasta yang dimiliki oleh para kapitalis asing dan local lebih mendominasi dalam menggerakkan laju pendidikan di Indonesia. Sehingga control biaya pendidikan pun kurang terkendali oleh pemerintah sendiri.
Kemudian, bagaimana dengan nasib si miskin? Apakah mereka akan hidup dengan kemiskinan dan kebodohan selama-lamanya. Bodoh plus miskin merupakan satua kesatuan yang sebenarnya tidak diharapkan oleh mereka. Akan tetapi konstruksi kekuatan globalisasi dan penjajahan kemanusiaan telah menjadikan mereka harus hidup menderita seperti saat ini.
Kalau kita lihat di beberapa pinggiran dan pusat kota Jakarta, masih banyak rakyat yang anak-anak mereka menjadi pekerja diusia dini. Tidak jarang dari mereka menjadi pengemis dan pemulung sampah. Harapan masa depan mereka telah punah dirampas oleh penjahat kemanusiaan kapitalisme global. Kaum miskin kini hidup mereka semakin terjepit, dalam keadaan mereka yang tidak berpendidikan, apa yang dapt mereka lakukan untuk merupah nasip mereka?.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang mandiri dan besar di negeri sendiri, perlu sinergitas dari semua elemen yang ada di negeri ini. Pemerintah, parktisi, pengamat dan pemerhati pendidikan perlu duduk bareng. Kita harus menghilangkan kepentingan individu dan golongan demi menuju Indonesia maju. Perbaikan di tingkat parlemen dan pemerintah juga harus dibenahi. Begitu juga kepedulian masyarakat harus diakomudir oleh pemerintah. Akumulasi ide dan gagasan rakyat mungkin dapat membantu mengeluarkan kondisi pendidikan kita yang saat ini sangat kacau.
Kepedulian dan kesadaran orang-orang kaya juga perlu di bangun. Baik dengan memberikan bantuan beasiswa maupun mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum miskin. Sehingga SDM bangsa Indonesia dikit demi sedikit dapat dibangkitakan untuk melawan dan mengawal gelombang globalisasi. Apalagi Indonesia mencanangkan Millenium Development Goal akan dimajukan lebih cepat dari 2020 menjadi 2015. Indonesia harus menyiapkan tenaga SDM yang memadai. Sehingga Indonesia menjadi Negara yang mandiri bersaing di era kompetisi global.

Penulis adalah Direktur Sekolah Guru Kreatif Jakarta

Senin, 24 September 2007

Pendidikan Nasional Masih Sentralistik

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Perubahan demi perubahan terus terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut kurikulum 2006. KTSP memberikan kebebasan kepada setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi masing-masing sekolah dan potensi daerah sekitar.
Desentralisasi pendidikan merupakan terobosan besar dalam pembangunan bangsa yang selama ini memakai paradigma top-down berubah menjadi memakai paradigma bottom-up. Sesuai dengan PP No.25 tahun 2000 maka sejumlah kewenangan dalam bidang pendidikan yang selama ini berada di pusat akan dilimpahkan kepada institusi penyelenggara pendidikan dalam bingkai pemerintah daerah dan sekolah, termasuk dalam hal pengembangan kurikulum sekolah yang sekarang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kini sekolah secara penuh memiliki otonomi dalam mengembangkan pendidikan. sekolah diizinkan untuk menyusun sendiri kurikulum yang akan diajarkan, tentunya tetap berdasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Depdiknas. Sekolah dapat memilih kurikulum mana yang sekiranya dibutuhkan di sekolah dapat di jalankan dengan keleluasaan. Begitu juga proses pembelajarannya dapat dilakukan sesesuai kebutuhan.
Namun, disamping proses desentralisasi yang ada saat ini, hal yang menarik adalah, di satu sisi pihak sekolah diberi kebebasan mengembangkan kreativitasnya dalam mengelola sekolah, baik menejemen maupun kurikulumnya, namun di sisi lain untuk masalah menentukan kelulusan siswanya masih tetap sentralisik. UN tetap menjadi tahapan yang harus dilewati siswa yang berasal dari berbagai sekolah yang telah menyusun sendiri kurikulumnya dan menentukan sendiri muatan materi dan kedalaman materi pokoknya. Tentu saja hal tersebut mengidentifikasikan bahwa KTSP digarap dengan kurang integral. KTSP yang berorientasi pada sekolah, berbeda dengan UN yang sentralistik. Disini Terjadi disintegrasi antara Otonomi Pendidikan dalam penyusunan kurikulum dan Sentralisasi pendidikan dalam hal kelulusan.
Alasan pemerintah untuk tetap melaksanakan UN adalah menjalankan amanat PP nomor 19 tahun 2005. padahal dengan tetap dilaksanakannya UN disekolah, berarti pemerintah masih menggunakan sistem Pendidikan yang Sentralistik. Disinilah terjadi ambivalensi antara sentralistik dan disentralistik dalam dunia pendidikan Indonesia.
Dengan masih diberlakukannya UN, sekolah tidak lagi memperhatikan bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan. Kalau yang dimenjadi target siswa adalah kelulusan dengan nilai bagus dan mendapatkan ijazah, tanpa memperhatikan niulai-nilai proses belajar, maka sekolah tidak lagi memiliki visi kebangsaan dan komitmen kemanusiaan serta etos keilmuan yang kuat.

KURIKULUM KTSP, BENARKAH SEBUAH SOLUSI PERBAIKAN PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Tingginya beban jam belajar diakui merupakan salah satu persoalan dari berbagai macam masalah dalam penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, walaupun hal itu bukan persoalan utama. Akan tetapi dengan tingginya beban belajar di sekolah akan berefek terhadap optimalisasi dan efektifitas belajar.
Belum lagi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 benar-benar dilaksanakan secara optimal dan menyeluruh diseluruh sekolah di Indonesia, kini pemerintah telah mengesahkan dan memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menekankan pada Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi (Dua Kolom). Kebijakan terhadap perubahan kurikulum ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki visi yang jelas mengenai arah pendidikan. Karena setiap bergantinya pemegang kendali kebijakan pendidikan di negeri ini, sistem dan pola pendidikan di Indonesia juga akan ikut berubah, termasuk penggunaan standar kurikulum sebagai acuan belajar.
Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang demikian, khususnya dalam pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai kurikulum yang mampu membawa pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Banyak praktisi dan para pengamat pendidikan menilai bahwa KBK 2004 tidak banyak diadopsi oleh sekolah-sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan. Kalau pun ada, itu pun sedikit yang murni. Selebihnya tetap menggunakan kurikulum lama 1994 tetapi hanya dilabeli KBK 2004.
Seperti penilaian banyak kalangan, dengan seringnya pemerintah melakukan perubahan terhadap kurikulum yang ada, pemerintah tidak memiliki visi yang jelas tentang pendidikan. Dan sungguh sangat disayangkan, pemberlakuan Kurikulum Baru 2006 ini yang terkesan bongkar-pasang kurikulum dan mengganti KBK 2004 yang dianggap kurang berhasil. Ini didasari kenyataan bahwa masalah kelemahan penerapan KBK 2004 tidak dicari dan tidak dibenahi, tetapi langsung menerapkan Kurikulum Baru 2006. padahal secara substansialnya, KTSP yang telah disahkan sebagai kurikulum baru Pendidikan Nasional tidak jauh berbeda dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, baik isi kurikulum maupun standar kelulusan.
Kurang tercapainya secara optimal penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 di Indonesia, menunjukkan kurang seriusnya pemerintah dalam menyikapi permasalahan pendidikan di negeri ini. Hal ini terbukti dari kurang optimalnya dalam melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang oprasional KBK 2004. Sehingga banyak guru dan steak holder pendidikan menjadi bingung untuk mengimplementasikan KBK 2004 tersebut.
Mungkin benar sebuah ungkapan yang mengatakan, bahwa Indonesia dalam menjalankan proses pendidikan menggunakan “Manajemen linglung”. Inilah yang disebut KBK adalah Kurikulum Berbasis Kebingungan. Bagaimana tidak membingungkan, KBK yang belum lama terealisasi secara optimal dan belum dievaluasi sejauh mana KBK tersebut berhasil, pemerintah akan merubah kurikulum 2004 menjadi kurikulum 2006. sebenarnya akan dibawa kemana kurikulum pendidikan Indonesia ini?
Tetapi apabila kurikulum baru 2006 nanti memang benar-benar disahkan, diharapkan agar dalam penerapan Kurikulum Baru 2006 nanti pemerintah lebih serius dapat mensosialisasikan isi dan penerapan Kurikulum baru sehingga guru tidak lagi kebingungan untuk dapat dengan baik menerapkan Kurikulum baru tersebut.
Mungkin kita semua mengetahui, bahwa selama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 diberlakukan mulai 2001, masih banyak guru yang masih belum memahami secara sempurna Kurikulum tersebut. Banyak guru yang merasa masih belum mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya KBK itu sendiri. Sehingga untuk menerapkan KBK di sekolah banyak menghadapi kesulitan.
Rendahnya pemahaman guru terhadap KBK merupakan persoalan lebih besar yang perlu diatasi secepatnya. Guru kurang paham KBK 2004 karena sosialisasinya yang tidak lancar, tidak merata dan tidak mendalam sehingga banyak guru yang masih bingung inti dari KBK dan bagaimana melaksanakannya.
Karena banyak guru belum bisa menjalankan perannya sebagai fasilitator, mereka akhirnya kembali pada metode pembelajaran konvensional yang telah mereka kenal sebelumnya. Guru dan buku teks pelajaran menjadi sumber informasi tunggal sementara murid diharuskan menerima semua informasi yang disampaikan guru.
Disamping Pemerintah mengeluarkan panduan pembuatan kurikulum baru 2006, pemerintah juga harus memberikan pemahan secara jelas tentang makna dan arti dari Kurikulum itu sendiri. Karena masih banyak guru yang memahami kurikulum itu dalam arti yang sangat sempit, yaitu kumpulan dari beberapa mata pelajaran yang harus diajarkan kepada anak didik di sekolah.
Sehingga dengan kondisi pemahaman yang demikian, guru akan menganggap murid sebagai manusia kosong yang siap diisi apa saja yang dikehendaki oleh guru sesuai dengan aturan main Kurikulum itu sendiri. Yang tercipta adalah Teacher oriented bukan student oriented yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk belajar bebas dari tekanan dan keterpaksaan.

Profesionalitas guru
Terlepas dari kurikulum nantinya, mau berdasarkan standar isi dan kompetensi atau standar lain, baik yang lama maupun yang baru, satu hal yang kiranya harus diperhatikan dalam memutuskan berlakunya suatu Kurikulum Nasional ialah penyiapan profesionalitas guru. Dan hal ini telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan disahkannya UU guru dan dosen pada 06 desember 2005 yang lalu.
Dengan UU guru dan dosen tersebut diharapkan kemampuan manajemen guru dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam menyusun Kurikulum maupun ketika mengimplementasikan kurikulum dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kemampuan guru dalam mengelola dan menjalankan kurikulum, akan menentukan keberhasilan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Guru adalah aktor utama dalam pelaksanaan suatu kurikulum di sekolah, entah berdasarkan atau mengacu terhadap apa kurikulum tersebut. Dari kenyataan di lapangan, bila guru itu sendiri tidak siap untuk melaksanakan kurikulum tersebut, maka sebaik apapun kurikulum yang direncanakan dan dipikirkan para ahli dan birokrat pemerintah di Indonesia tidak akan pernah berjalan dengan baik. Akhirnya yang terjadi adalah guru bingung dalam melakukan proses mengajar
Dengan demikian, penetapan kurikulum baru 2006 hanya akan membuang banyak dana tanpa hasil yang sepadan karena guru tidak dapat melaksanakannya. Dana yang dibutuhkan untuk membuat dan mensosialisasikan kurikulum tersebut sangatlah besar. Padahal kondisi pendidikan saat ini sangat membutuhkan dana anggaran yang besar, seperti Negara–Negara lain. Namun sampai saat ini dari 20% anggaran pendidikan yang diambil dari APBN 2006 masih belum sepenuhnya terealisasikan.
Pengalaman dengan KBK kiranya dapat menjadi bahan refleksi nasional bagi para pemegang otoritas kebijakan. Meski sudah sekitar empat tahun KBK dicoba diaplikasikan, namun sampai saat ini masih terdapat sejumlah besar guru di daerah yang belum pernah mendengar istilah KBK. Sebagian besar lagi bingung karena tidak tahu persis isi dan bagaimana melaksanakan KBK, sebagian lagi bingung karena mau melaksanakan KBK tetapi fasilitas pendukungnya tidak ada.
Selain masih minimnya pemahaman guru terhadap konsep KBK, sebetulnya ada juga persoalan yang lebih mendasar, yakni ketersediaan akan sarana penunjang pembelajaran. Di banyak sekolah, sarana penunjang yang memadai belum terpenuhi. Terutama sekolah-sekolah yang letaknya jauh di pelosok desa. Sehingga target dari Kurikulum KBK itu sendiri, hanya tercapai pada tingkatan materi, dan tidak mampu dipraktekkan karena ketidaktersedianya fasilitas.
Jika KBK betul-betul dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan ditunjang oleh fasilitas pendidikan, maka pendidikan Indonesia akan lebih maju. Dan proses pendidikan yang egaliter, demokratis dan bebas dari tekanan akan terwujud. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa anak didik diberikan peluang untuk memilih mata pelajaran yang diminati sesuai dengan bakatnya.
Sebelum suatu kurikulum diberlakukan, pemerintah harus menyiapkan para guru agar nanti dapat melaksanakan kurikulum baru tersebut dengan jelas, benar, dan bertanggung jawab. Langkah–langkah yang mungkin harus dilakukan pemerintah dalam menyiapkan guru agar profesionalitasnya dapat dipertanggungjawabkan untuk mengelola Kurikulum adalah memberikan pemahaman kepada guru tentang isi dan hakikat Kurikulum yang baru ini. Oleh karena itu, perlu sosialisasi merata dan optimal di seluruh daerah Indonesia yang sangat luas dengan guru yang jumlahnya banyak tersebar di seluruh Indonesia, tentunya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk sosialisasi.
Oleh karena itu, pemerintah jangan mengira guru akan mengetahui kurikulum baru tersebut dengan sendirinya. Ada baiknya, untuk mempercepat sosialisasi dan teks kurikulum yang baru diperbanyak untuk semua guru di Indonesia. Lalu, orang-orang yang sudah ditatar oleh pemerintah dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi.
Diharapkan dengan diberlakukannya kurikulum baru 2006 tersebut, proses pembelajaran di setiap sekolah akan memperhatikan potensi dan bakat yang dimiliki oleh anak didik. Dengan demikian guru bukan hanya mencekoki murid (teacher oriented), akan tetapi menitikberatkan pada pola belajar siswa aktif atau active learning. Guru tidak hanya sekadar berceramah, komunikasi berjalan dua arah dan sebanyak mungkin dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Pendidikan Indonesia Dalam Cengkraman Kapitalisme Global

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Pendidikan Indonesia sampai saat ini masih belum menemukan format yang terbaik untuk meningkatkan kualitas sumber daya Manusia (SDM) di negeri ini. Selama 50 tahun lebih bangsa Indonesia merdeka dari tekanan kolonialisme negera asing, namun bangsa ini masih berkutat dalam lingkaran ketergantungan yang tinggi kepada Negara lain. Entahlah apa yang salah dengan bangsa ini.
Pendidikan, dalam hal ini, sebenarnya banyak mengambil peran penting dalam meningkatkan kualitas bangsa. Namun entah kenapa sampai saat ini pendidikan di Indonesia belum mampu mewujudkan hal tersebut. Padahal dalam pembukaan Undang-Undang 1945 telah di jelaskan, bahwa tugas utama Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang harus dilakukan sebenarnya adalah dengan mengelola pendidikan dengan baik. Karena pendidikan yang baik akan melahirkan manusia yang cerdas dan bermoral.
Kalau kita lihat dari fenomena tersebut, intervensi negera lain sangat berpengaruh dan menentukan arah perkembangan dan kebijakan pendidikan yang ada di negeri ini. Dalam hal ini Negara kapitalis global, yang mempunyai visi hegemoni semua sector kehidupan bangsa, tentunya dengan menancapkan kekuatan modal ekonomi mereka. Dengan demikian kekuatan itu mampu mengendalaikan semua kehidupan, termasuk pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dari komersialisasi dan komodifikasi pendidikan yang dilakukan oleh pihak pemodal (kapitalis). Sehingga misi social dan moral yang seharusnya senantiasa menjadi misi utama telah hilang dari dunia pendidikan.
Cengkraman kapitalisme global, telah memberikan efek besar terhadap prilaku manusia di negeri ini. Sifat individualistik yang tinggi, egoisme yang berlebihan, dan Dekadensi moral yang semakin menyedihkan. Semua itu adalah cita-cita yang memang menjadi orientasi utama para kapitalis global. Sehingga pendidikan yang semestinya mampu diakses oleh semua lapisan masyarakat, sekarang hanya bisa di nikmati oleh masyarakat yang berekonomi menengah keatas. Kemudian dimana nasib kaum pinggiran (Baca :Proletar).
Pemerintah, yang seharusnya menjadi penanggung jawab terlaksananya pendidikan untuk semua, tidak mampu berbuat apa-apa karena pemerintah masih ada ketergantungan terhadap negara donor (pemberi Hutang). Begitu juga pemerintah telah memberikan ruang yang luas bagi kaum kapitalis untuk melakukan investasi di sektor pendidikan.akhirnya pendidikan dijadikan sebagai lahan komoditi untuk meraih keuntungan yang besar. Seperti yang diungkapkan oleh Francis Wahono dalam bukunya “Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan sosial” bahwa Paradigma pendidikan di negeri ini sudah menggunakan paradigma “Kapitalisme”, tidak lagi paradigma “Keadilan Sosial”.
Ketika Pendidikan sudah berada dibahah cengkraman kaum kapitalis, maka yang terjadi adalah pembodohan kolektif yang tersistimatis. Pemerintah akhirnya juga akan dituntut untuk menaikkan biaya sekolah. Karena konstruksi globalisasi yang di bungkus liberalisasi pendidikan menuntut biaya mahal untuk kualitas pendidikan yang bermutu. Kemudian bagaimana dengan nasib kaum miskin pinggiran, yang tidak mampu membayar biaya sekolah pada akhirnya seperti ungkapan Eko Prasetyo dalam judul bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.
Bagi kita, hanya satu kata, “Lawan Kapitalisme Global dalam dunia Pendidikan”. Kalau tidak, sampai kapanpun negeri ini tidak akan pernah mampu bangkit dari kungkungan dan imperialisme negera kapitalis. Walaupun itu dibungkus dengan bentuk apapun, termasuk Liberalisasi pendidikan yang sekarang bernama Prifatisasi pendidikan.

Liberalisasi Pendidikan; Bentuk Ketidak Adilan Terhadap Rakyat

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim


Gelombang arus globalisasi dan liberalisasi dunia modern yang telah dihantarkan oleh bergulirnya revolusi perancis (1789), telah memberikan dampak yang sangat siginifikan terhadap perubahan dalam berbagai aspek kehidupan ummat manusia abad ini. Dari perubahan itu tidak terkecuali dunia pendidikan yang nota beninya sebagai wadah pembelajaran, pembinaan dan pembentukan watak dan moral manusia. Tidak terlepas dari pengaruh arus golalisasi dan liberalisasi itu sendiri.
Hal ini sudah kita ketahui semenjak pendidikan dimasukkan dalam wilayah liberalisasi pada tahun 1995, dan bergabungnya bangsa indonesia dalam penandatanganan General Agreement on Trade (GAT) yang sekarang difasilitasi oleh WTO. Bergabungnya indonesi dalam GAT dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Karena dari penilaian Negara-negara maju, meningkatnya jumlah kemiskinan di suatu Negara, disebabkan karena keterpurukan dan rendahnya kualitas pendidikan yang ada. Oleh sebab itu liberalisai pendidikan di Negara berkembang seperti Indonesi diharapkan akan memberikan semangat untuk bangkit dari keterpurukan dalam bidang pendidikan. Sekaligus membuka kompetisi pasar bebas dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan. Dengan demikian keberadaan lembaga pendidikan milik Negara akan bersaing dengan lembaga pendididikan suwasta yang memilki modal besar.
Namun munculnya wacana liberalisasi pendidikan banyak menuai kontrofersi dikalangan masyarakat. Menurut Ivan Illich dalam bukunya “Deschooling Sosiety”, bahwa Ketika segala kebijakan pendidikan sudah dipegang dan dikendalikan oleh kekuatan pasar (modal) yang dimilki oleh kaum kapitalis, maka sejak itulah ketidak adilan dalam mendapatkan kesempatan pendidikan akan tercipta. Karena untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tinggi harus diukur dengan kemepuan ekonomi. Hal seperti yang juga dihawatirkan oleh Paolo Friere dengan istilahnya “Budaya Bisu”. Ketika masyarakat bawah sudah tidak lagi mampu menjangkau pendidikan, karena struktur ekonomi yang rendah, maka kebodohan kolektif akan menjadi budaya yang berkepanjangan.
Menurut Ichsanuddin nursy, pengamat politik dan ekonomi, bahwa sikap pemerintah yang mengamini dan mengimani adanya liberalisasi adalah salah satu bentuk penghianatan dan pelecehan terhadap UUD 1945. begitu pula dengan para tokoh dan praktisi pendidikan, seperti Tilaar yang memberikan pandangan, bahwa masuknya kekuatan pasar, budaya korupsi dan kekuatan industri akan mengarahkan misi pendidikan. Menurutnya Etika dan moral di dunia pendidikan akan dikuasai oleh etika dan moral bisnis yang berdasarkan pencarian keuntungan. Dampak dari liberalisasi pendidikan tersebut akan menggeser peran Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah tertuang dalam UUD 45. Terbukanya akses pasar dan industrialisasi pendidikan cendrung membuka akses bagi pemilik modal (Kapitalis) untuk mendektekan kepentingan dan kebutuhan oconomi mereka kepada dunia pendidikan. Walhasil, pendidikan akan hilang dan bergeser dari fungsi fundamintalnya sebagai proses memanusiakan manusia secara utuh. Dan menjadi lahan bagi kepentingan industri atau bisnis kaum kapitalis.
Adjisuksmo salah satu fungsionaris Badan Litbang Depdiknas berharap, dengan masuknya lembaga pendidikan asing/suwasta, mampu memicu dan memacu peningkatan kualitas pendidikan di indonesi. Serta akuntabilitas penyelenggaraan proses pendidikan bisa ditingkatkan. Akan tetapi, apakah dari mahalnya biaya pendidikan yang ditawarkan lembaga pendidikan asing/suasta itu akan memberikan jaminan terhadap meningkatnya mutu dan kualitas pendidikan?. Justru masyarakat menghawatirkan akan banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak mampu mendapatkan layanan pendidikan. Dan pada akhirnya bukan kesejahteraan yang akan diraih oleh bangsa ini. Akan tetapi keterpurukan dan kemiskinan akan meningkat. Apalagi anggaran pemerintah untuk pendidikan sangat kecil, itupun masih dipotong dan diselewengkan oleh para koruptor negeri ini. Bagaimana liberalisasi bisa dikatakan sebagai solusi dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa ini, jika tidak disertai dengan kesadaran para elit pemerintah untuk mengawal terwujudnya pendidikan yang lebih memanusiakan manusia.
Pemerintah dalam mengantisipasi liberalisasi pendidikan di negeri, supaya tidak merombak dan menggeser tujuan fundamental pendidikan, tidaklah cukup hanya meluncurkan undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah (PP). akan tetapi juga harus menyiapkan dan menyusun strategi jitu untuk bisa memberi posisi tawar lembaga pendidikan negeri dengan lembaga pendidikan suwasta. Terutama lembaga pendidikan asing. Sehingga lembaga pendidikan negeri tidak hanya menjadi penonton setia. Akan tetapi juga ikut aktif menjadi inspirator dan actor dalam membangun mutu pendidikan di Indonesia.

Penulis Adalah Direktur Sekolah Guru Kreatif (SGK) dan Presiden BEMJ KI-Manajemen Pendidikan

GURU DALAM SOROTAN PUBLIK

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Sejarah telah mencatat, bahkan pada zaman penjajahan sekali pun, kedudukan, dan profesi guru sangat disegani dan dimulyakan. Dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi terdepan. Bahkan, dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pun guru selalu berada pada garda terdepan untuk menunjukkan kecintaannya terhadap tanah air dan rakyat Indonesia. Seperti yang kita ketahu, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Imam Bonjol dan Ki Hajar Dewantara pun adalah seorang guru yang disegani.
Sering kita jumpai pada zaman dulu, tidak pernah ada orang tua siswa marah karena anaknya “dihajar”. Bahkan, para orang tua siswa selalu berterima kasih bila anak mereka “dihajar” guru karena melakukan tindakan yang melanggar kurang ajar. Harga diri, wibawa, penghargaan masyarakat, dan penghargaan materi pun saat itu sangat memadai bagi guru. Sihingga posisi guru dipandang sebagai posisi yang sangat mulia dan terhormat. Bahkan tidak jarang guru dianggap sebagai manifestasi dari sifat ketuhanan yang berakar dari istilah Rabb.
Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi sebagai pemindah ilmu pengetahuan (Transfer of Knowledge) dari guru ke murid (top Down), tetapi juga berfungsi sebagai orang yang menanamkan nilai (values), membangun karakter (Character building) serta mengembangkan potensi besar yang dimiliki murid secara berkelanjutan. Guru adalah ujung tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan serta merupakan faktor sangat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien. Oleh karena itu, guru harus bangun dan berdiri dari tidur nyenyaknya yang selalu membanggakan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa.” Nasib guru adalah di tangan guru. Guru harus bangkit untuk mengubah citra profesionalisme yang mapan baik dalam pengabdian maupun dalam penghidupan kesehariannya.
Karena guru menjadi figur sentral dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar (PBM), maka setiap guru diharapkan memiliki karakteristik (ciri khas) kepribadian yang ideal sesuai dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagogis. Pemapanan kepribadian guru menuju guru profesional adalah salah satu cara yang tepat untuk bangkit dalam keterbenaman. Dan itu membutuhkan waktu dan perangkat yang cukup matang. Langkah pemerintah yang membuat UU guru dan dosen bisa menjadi langkah solutif untuk mengangkat kembali citra profesionalisme guru dalam masyarakat saat ini.

Guru sebagai revolusioner

Psikolog Pendidikan, Muhibbin Syah (1995) menjelaskan, dalam mengolah Proses Belajar Mengajar guru tidak hanya berorientasi pada kecakapan-kecakapan yang berdimensi ranah cipta (kognitif) , tetapi kecakapan yang berdimensi ranah rasa (afektif) dan ranah karsa sebagai keterampilan hidup (Psikomotorik). Sebab, dalam perspektif psikologi pendidikan, mengajar pada prinsipnya berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat orang lain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya. Perilaku ini meliputi tingkah laku yang bersifat terbuka seperti keterampilan membaca (ranah karsa), juga yang bersifat tertutup seperti berpikir (ranah cipta), dan berperasaan (ranah rasa).
Menjadi sebuah Karakteristik yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologi. Fleksibilitas kognitif (keluwesan ranah cipta) merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Ia juga memiliki resistensi (daya tahan) terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur (terlampau dini) dalam pengamatan dan pengenalan. Ia selalu berpikir kritis dan selalu menggunakan pertimbangan akal sehat yang dipusatkan pada pengambilan keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu dan melakukan atau menghindari sesuatu (Heger & Kaye,1990).
Guru yang terbuka secara psikologis biasanya ditandai dengan kesediaan yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor ekstern antara lain, siswa, teman sejawat, dan lingkungan pendidikan tempat bekerja. Ia mau menerima kritik dengan iklas. Ia juga memiliki empati (empathy), yakni respons afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan orang lain (Reber,1988). Itulah di antaranya yang harus dilakukan guru sekarang ini. Jika guru segera bangun dan menanamkan profesionalisme yang tepat dan benar, insya Allah cibiran sebagai masyarakat kelas dua akan sirna. Pengabdian akan mendapat kepuasan dengan hasil kemajuan siswa sesuai harapan. Peningkatan kesejahteraan penghidupan pun akan merangkak tanpa perlu bergantung pada pihak lain.
Pada aspek social masyarakat, guru juga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai budaya yang tercipta dalam masyarakat. Guru mempunyai andil besar dalam melestarikan kebudayaan (culture) yang menjadi tatanan nilai dan identitas social. Oleh karena itu, peran guru sangatlah komplek, begitu juga tantangan guru untuk senantiasa mempertahankan eksistensi profesionaitas mereka sangat berat dan komplek pula. Kondisi dan profesi guru yang sekarang sudah tidak lagi dianggap sebagai hal yang prestise dan membanggakan, bahkan guru sekarang dianggap sebagai posisi yang kecil dan termarjinalkan perlu di kembalikan seperti kondisi terdahulu.
Prilaku Guru
Sebuah istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik “ guru kencing berdiri murid kencing berlari, memberikan pesan moral kepada guru agar bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan. Seperti kelakuan bejat guru ketika membocorkan jawaban Ujian Nasional sebagai upaya menolong kelulusan anak didiknya. Memang murid pada saat itu senang, karena mendapatkan jawaban untuk mempermudah mereka lulus. Akan tetapi, saat itu juga guru telah menanamkan ketidakpercayaan murid terhadap guru. Dan pada saatnya nanti, mereka akan jauh berbuat lebih bejat lagi ketimbang saat ini yang guru mereka lakukan.
Pada tahun 2007 ini, gegap gempita kelulusan peserta ujian nasional (UN) di segala jenjang pendidikan nasional tidak kalah heboh dari ketidaklulusannya. Di suatu daerah, guru-guru berkrepribadian tangguh menyoal kecurangan praktek UN. Akan tetapi di beberapa daerah lain justru kuat dan berusaha melindungi kecurangan yang terjadi di sekolah mereka. Masih banyaknya prilaku guru yang sebenarnya menjatuhkan harkat dan citra diri seorang guru pada pelaksanaan UN perlu direspon dengan serius. Lebih parahnya lagi bagi guru yang tidak terima dan melaporkan terjadinya kecurangan di sekolah mereka akan mendapatkan intimidasi dan bahkan ancaman pemecatan dari pihak sekolah atau yayasan. Ada apa ini semua ?
Mengingat standarisasi kelulusan yang dinilai terlalu tinggi oleh banyak guru dan kepala sekolah, menuntut mereka memeras otak untuk mencari langkah jitu meluluskan peserta didik mereka. Sehingga Banyak niat mulia pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dilakukan dengan cara curang. Itu semua dilakukan tidak lebih hanya untuk menjaga citra dan nama baik sekolah mereka. Tidak sedikit kepala sekolah dan guru membentuk tim untuk membantu proses UN mulai dari pemberian jawaban sampai penyeleksian sendiri (perbaikan) sebelum lembaran jawaban dikirim ke panitia UN.
Guru yang profesinya sangat mulia, pendidik nurani bangsa idealnya senantiasa ditiru dan digugu oleh anak didik dan masyarakat. Kalaulah apa yang dilakukan oleh guru dan pihak sekolah adalah tindakan keterpaksaan yang diperintah oleh kepala dinas pendidikan atau kepala daerah mungkin iti masih lumayan. Tapi, kalau demi menaikkan gengsi sekolah, demi menutupi kebodohan mengajar dengan membantu anak didik agar lulus, apakah itu pelecehan dan pembunuhan terhadap potensi anak didik? Dan dimana hati nurani guru sebagai teladan ? bukankah ini merupakan prilaku memberikan contoh kejahatan, dan tindakan seperti itu menanamkan benih potensi tindakan korupsi.
Mental korupsi telah dibentuk sejak generasi bangsa duduk di bangku sekolah. Parahnya lagi, yang membentuk karakter itu adalah guru sendiri. Padahal seyogyanya gurulah yang punya peran sentral untuk membersihkan mental koruptor dalam jiwa anak didik. Guru adalah tempat strategis untuk membentuk kepribadian anak bangsa. Jika karakter guru mengarah pada hal yang buruk, maka anak didik yang terbentuk pun akan tidak jauh dari karakter guru. Tapi sebaliknya. Kebiasaan memberikan bocoran jawaban kepada anak didik, berarti telah mengajarkan anak didik untuk korupsi. Kelak ketika anak didik itu menjadi pemimpin, maka tidak menutup kemungkinan dia akan membocorkan dana atau kebijakan yang lainnya.
Namun secara umum kita tidak juga menutup mata terhadap perjuangan beberapa guru yang bathinnya resah, jiwanya terguncang, dan melaporkan kecurangan yang dilakukan oknum guru dan kepala sekolah ke pihak berwenang. Ingatan kolektif tidak mungkin dihapus, bagaimana guru-guru sejati tersebut, mengadu sampai ke DPR RI. Bersasksi di depan sorotan kamera Televisi-televisi nasional, berani menanggung resiko demi kejujuran, kemuliaan dan kehormatan profesi guru. Namun tidak banyak guru bermental satria yang menjunjung tinggi profesionalisme guru.
Kecurangan dalam UN 2007 yang melahirkan gugatan dari praktisi, pengamat, LSM dan tidak jarang juga siswa ikut menggugat kecurangan UN di sekolah mereka. Kisah berakhir happy ending (?). dari hasil gugatan mereka, ternyata pemerintah belum bisa bertindak tegas terhadap para pelaku kecurangan. Sampai saat ini belum satu pun yang terbukti sebagai tersangka pelaku kecurangan pada UN. Jadi, keberanian bersaksi guru-guru berkrepribadian tangguh, murid-murid yang berjiwa satria, tidak mendapat tempat di mahkamah kebenaran. Ternyata kehidupan bangsa ini masih berlangsung sebagaimana sedia kala.
Guru yang digugu dan ditiru
Rumitnya problema kehidupan menentang tiap guru yang mencoba-coba menjalankan “pendidikan moral”. Kalau seperti para filusuf positivis, sang guru percaya bahwa hanya Prinsip-prinsip sajalah yang mungkin diajarkan disertai alas an-alasan bernalar, sang guru masih harus menentukan prinsip-prinsip mana yang bisa dijadikan bermakna bagi anak-anak kontemporer (Maxine Greene). Guru mesti menentukan terlebih dulu tindakan-tindakan mana yang mempunyai “gema moral”. Karena setiap tindakan guru akan menjadi cerminan anak didik yang melihatnya. Slogan “guru digugu dan ditiru” merupak represantasi dari komunikasi prilaku guru dengan murid setiap harinya.
Tantangan dalam kehidupan guru memang tidak mudah. Hidup dengan gaji kecil, sarana dan prasana pendidikan minim, fasilitas yang mengundang air mata, terkadang dicaci maki dan disumpahserapahi kalau ada apa-apa dengan pendidikan. Pokoknya derita guru adalah tumpukkan kesedihan. Tetapi, tetap tegar berjuang demi profesi mulia. Terlalu murah bila digadaikan dengan kecurangan demi UN. Di akhirat nantinya akan diadili pula karena curang. Lebih parah lagi tanaman psikologis. Bila anak didik berhasil karena tindakan curang guru, UN lulus dengan curang, masuk perguruan tinggi pakai joki, mendapatkan pekerjaan dengan menjogok dan cara-cara curang lainnya. bagaimana kalau dia nantinya menjabat posisi strategis di struktur pemerintahan negera kita (Pemimpin)?
Jadi, saatnya pendidikan Nasional dibersihkan dari guru-guru yang berwatak koruptor dan preman. Mari tinggalkan korupsi pendidikan dan mendidik peserta didik korupsi sejak si bangku sekolah. Yang seharusnya kita kampanyekan kepada anak didik justru pendidikan antikorupsi. Selayaknya posisi guru di barisan terdepan dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi, pendidikan anti curang pun digalakkan. Tentunya yang harus diperhatikan dan dibangun adalah mental guru-guru dan pihak sekolah yang lainnya.
Guru yang mempunyai jiwa idealis terhadap nilai-nilai luhur moral, dia akan senantiasa berlaku jujur terhadap semua apa yang dilakukan. Dalam menghadapi UN sebenarnya guru harus proaktif untuk memberikan mutivasi belajar dan mensupport agar anak didik siap menghadapi Ujian Nasional. Sifat sportifitas dan kompetitif yang ditanamkan didalam mental anak didik, akan mencerminkan prilaku mereka kelak ketika mereka hidup dilingkungan masyarakat. Apalagi ketika diantara mereka menjadi pemimpin bangsa. Sikap tauladan yang dicontohkan guru terhadap anak didik dalam menghadapi UN lebih memberikan rasa kepercayaan yang tinggi kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Meningaktakan Profesionalisme
Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.
Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya pendidikan yang dibentuk oleh guru dan pihak sekolah secara bersama-sama.
Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar (guru) yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (hal. 19).
Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral yang tinggi.
Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia kita. Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.
Kompleksitas permasalahan guru, serta beratnya tanggung jawab yang diemban guru, menuntut peran aktif yang besar dari pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi mereka. Bukan hanya jaminan dan kesejahteraan materi, akan tetapi hukum, kebijakan politik, pembinaan dan apresiasi yang tinggi perlu diberikan kepadanya. Jiwa pendidik dan mental kesatria harus menjadi bagian yang terpatri dalam diri guru. Sehingga mendidik tidak hanya untuk mengejar kesejahteraan dan jaminan social, membiarkan kecurangan UN dilakukan oleh oknum sekolah sendiri, dan berani melawan ketidak adilan yang diciptakan oleh birokrasi pemerintah terhadap pendidikan.
UU guru yang semestinya memberikan jaminan profesi dan jaminan kesejahteraan harus tetap dijadikan salah satu cara meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru. Kita semua berharap optimis pendidikan negeri ini akan mampu diperbaiki ketika semua elemen pendidikan bersama-sama membangun pendidikan bangsa. Kompetisi yang sehat dan sportif diantara sekolah-sekolah peserta UN perlu ditanamkan. Nilai hasil UN bukanlah ukuran mutlak sebagai nilai kualitas pendidikan. Karena dalam prinsip Otonomi pendidikan, MBS dan KTSP yang menjadi perangkat peningkatan mutu pendidikan nasional memberikan kebebasan mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi sekolah/daerah masing-masing.
Jadi, guru tetap harus bersikap professional pula dalam mengahadapi proses dan hasil UN. Walaupun misalkan terdapat beberapa anak didik yang tidak lulus, guru harus mampu memberikan pemahaman terhadap mereka bahwa itu semua hanya merupakan sebuah proses kesucsesan yang masih tertunda. Guru mempunyai peran strategis dalam mengawal anak didik menjadi generasi bangsa yang siap pakai. Selain mendidik untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga, guru juga peka terhadap kondisi
Terciptanya keserasian antara kebutuhan pribadi dan kewajiban social akan membentuk tatanan social di Indonesia tercipta degan baik. Praktek korupsi yang dimulai dari kecurangan UN perlu dimusnahkan dari sekarang. Sikap tegas dari pemerintah (Pengadilan kebenaran) harus dibenahi. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) harus dibenahi.

Penulis Adalah Direktur Sekolah Guru Kreatif (SGK) dan Presiden BEMJ KI Manajemen Pendidikan UIN Jakarta

Rancang Bangun Pendidikan Multikultural di Indonesia

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Salah satu persyaratan terbentuknya Negara yang damai dan demokratis, adalah menghargai dan mengamini adanya keanekaragaman (Pluralitas) masyarakat dan bangsa. Namun memang sulit untuk memahami konsep multikulturalisme dan pluralisme itu kedalam kehidupan masyarakat sehari-hari. sehingga tidak jarang pemahaman tentang konsep multikulturalisme dan pluralisme akan menjadi sebuah ancaman besar bagi kehidupan ummat. Hal itu berjalan seperti yang diungkapakan oleh Samuel Hantington dalam Clash of Civilization, bahwa proses kontemporer modernisasi globalisasi secara aktif menyumbang pada berkembangnya masalah-masalah etnisitas yang dikaitkan dengan kemunculan kembali persoalan komunitarian secara signivikan.
Negara indonesi merupakan bangsa yang paling majemuk (Plural), terbentang pulau-pulau dari sabang sampai Merauke, keanekaragaman suku, bahasa, ras, budaya, dan agama telah menjadi ciri khas dan identitas sejak bagsa ini berdiri. hal itulah yang telah disadari oleh Fonding father negeri ini, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme dan multikulturalisme dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam upaya menyatukan bangsa yang plural ini, memang dibutuhkan perjalanan waktu yang cukup panjang dan penuh perjuangan. Dan tentunya beberapa bentuk konflik dan konsensusnya akan mewarnai upaya mewujudkan bangsa yang damai, tentram dan demokratis. Dan itu karena masyarakat akan terus berubah sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk evolusioner yang sarat dengan kepentingan hidup yang berbeda-beda.
Beberapa konflik dan kekerasan telah mewarnai perjalanan negeri ini, dan itu semua muncul akibat adanya rasa sentimen dan egoisme agama, etnis, ras, suku dan golongan tertentu dalam mengklaim kebenarannya terhadap golongan lain. Seperti yang kita ketahui Poso, Ambon, Aceh, Sampit, Mataram, Kupang dan masih banyak daerah lainnya, telah menjadi contoh kasus tragedi kemanusiaan yang sebenarnya merupakan pantulan dari instrumentasi politik melalui etnisitas, agama, dan asal daerah. Potensi konflik di daerah rawan konflik tersebut, dikarenakan telah terkikisnya sikap toleransi dan solidaritas antar sesama dalam menyikapi perbedaan itu. Maka untuk tidak berkembang konflik yang lebih besar, perlu kita menanamkan pentingnya memahami dan menghargai perbedaan itu. Karena keanekaragaman dan perbedaan merupakan kodrat dari sang pencipta alam.
Pendidikan Multikultural merupakan salah satu langkah strategis untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Agar mereka labih memahami dan mampu mengejawantahkan wacana Multikultural bukan hanya sekedar wacana., tetapi mampu diimplementasikan dalam bentuk interaksi kehidupan sosisal sehari-hari. Oleh karena itu pendidikan multikultural sangat penting kita galakkan sejak dini di negeri ini. Dan tentunya penanaman terhadap paham multikulturalisme dan pluralisme itu memang seharusnya dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan. Karena pendidikan multikultural merupakan langakah untuk menanggulangi desintegarasi bangsa yang disebabkan oleh konflik perbedaan. Dengan demikian potensi konflik yang sampai saat ini dipicu oleh perbedaaan agama, ras, suku, dan golongan tertentu, akan mampu diminimalisir dengan cepat dan sistematis oleh bangsa ini.
Pendidikan yang berwawasan multikultural sampai saat ini hanya sebatas teori yang digembor-gemborkan diatas permukaan wacana saja. Walaupun sudah banyak sebagian dari para kaum pluralis yang memberikan fatwa kepada masyarakat tentang pentingnya menghargai dan mengamini pluralisme dan multikulturallisme di negeri ini. Namun implementasi dalam interaksi kehidupan sehari-hari masih jauh dari yang diharapkan. Maka pendidikan yang berwawasan multicultural itu harus dibangun mulai dari bangku pendidikan, dan tentunya untuk memahami konsep multikulturalisme itu sendiri, kita harus menanamkan nilai-nilai toleransi dan solidaritas yang tinggi kepada masyarakat, terutama para akademisi yang masih berada di dunia pendidikan.
Seperti yang banyak kita lihat di media-media informasi, sejumlah tauran dan kekerasan antar pelajar dan mahasiswa sering terjadi, sehingga terkesan, premanisasi bukan hanya terdapat di jalanan. akan tetapi juga muncul dikalangan masyarakat terpelajar. Pemicu konflik antar pelajar dan mahasiswa itu, dikarenakan perbedaan kepentingan yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Dan akhirnya wujud konflik dalam bentuk bentrokan dan kekerasan untuk menentukan siapa yang benar dan yang kuat tidak bisa dihindari lagi. Itulah akibatnya bila pemahaman konsep multicultural dan pluralisme hanya sebatas teori balaka. Padahal masyarakat menaruh harapan besar kepada calon-calon pejuang muda negeri ini, untuk menjunjung nilai-nilai kerukunan dan kekeluargaan.
Pemupukan sikap toleransi dan solidaritas antar sesama masyarakat akan menciptakan semangat pemahaman multikulturalisme dan pluralisme yang tinggi. Salah satu mediator yang sangat efektif mendapatkan respon dari semua kalangan adalah media pendidikan. Oleh karena itu pengelolaaan pendidikan yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme dan pluralisme harus benar-benar di wujudkan. karena entry point dari pendidikan Multikultural terletak pada pemahaman dan upaya untuk hidup dalam konteks perbedaan, baik secara individu maupun kelompok. Dari modal pemahaman itu, generasi muda bangsa yang duduk di bangku pendidikan akan mampu merubah arah mata angin perjalanan bangsa ini. Kekacauan dan keributan yang ditimbulkan oleh aksi kekerasan dan konflik antar golongan di negeri ini, akan sirna. Begitu pula aksi teroris yang mengatas namakan agama tertentu, bisa dibersihkan dari bumi pertiwi ini.
Hal yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia dalam menyikapi kurangnya pemehaman terhadap konsep multikuturalisme dan pluralisme dalam kehidupan sehari-hari, adalah bagaimana sistem pengajaran dan materi dalam pendidikan mampu mewujudkan pemahaman itu. Yang pastinya, pemerintah dalam upaya membuat kebijakan tidak dipolitisir demi kepentingan suatu kelompok tertentu. Karena itu akan membuat pendidikan Indonesia lebih terpuruk kejurang yang lebih dalam. Semangat Kebangsaaan (Nasionalisme), kedamaian serta ketentraman yang menjadi idaman semua masyarakat Indonesia tidak hanya bersifat insidental, seperti yang diungkapkan oleh Emha Ainun Nadjib (Ca’ Nun), bahwa semangat kebersamaan hanya muncul ketika negeri ini terkena musibah dan bencana alam. Semoga dengan peran pemerintah yang lebih tinggi terhadap pendidikan, akan membawa negeri ini ke arah yang lebih damai dan demokratis.

Penulis adalah Mahasiswa Manajemen Pendidikan FITK UIN Syarif Hidayatullah Dan aktivis Komunitas Penulis Cultura Ciputat