Senin, 24 September 2007

KURIKULUM KTSP, BENARKAH SEBUAH SOLUSI PERBAIKAN PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh : Moh Fauzi Ibrahim

Tingginya beban jam belajar diakui merupakan salah satu persoalan dari berbagai macam masalah dalam penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, walaupun hal itu bukan persoalan utama. Akan tetapi dengan tingginya beban belajar di sekolah akan berefek terhadap optimalisasi dan efektifitas belajar.
Belum lagi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 benar-benar dilaksanakan secara optimal dan menyeluruh diseluruh sekolah di Indonesia, kini pemerintah telah mengesahkan dan memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menekankan pada Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi (Dua Kolom). Kebijakan terhadap perubahan kurikulum ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki visi yang jelas mengenai arah pendidikan. Karena setiap bergantinya pemegang kendali kebijakan pendidikan di negeri ini, sistem dan pola pendidikan di Indonesia juga akan ikut berubah, termasuk penggunaan standar kurikulum sebagai acuan belajar.
Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang demikian, khususnya dalam pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang sampai saat ini masih dianggap sebagai kurikulum yang mampu membawa pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Banyak praktisi dan para pengamat pendidikan menilai bahwa KBK 2004 tidak banyak diadopsi oleh sekolah-sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan. Kalau pun ada, itu pun sedikit yang murni. Selebihnya tetap menggunakan kurikulum lama 1994 tetapi hanya dilabeli KBK 2004.
Seperti penilaian banyak kalangan, dengan seringnya pemerintah melakukan perubahan terhadap kurikulum yang ada, pemerintah tidak memiliki visi yang jelas tentang pendidikan. Dan sungguh sangat disayangkan, pemberlakuan Kurikulum Baru 2006 ini yang terkesan bongkar-pasang kurikulum dan mengganti KBK 2004 yang dianggap kurang berhasil. Ini didasari kenyataan bahwa masalah kelemahan penerapan KBK 2004 tidak dicari dan tidak dibenahi, tetapi langsung menerapkan Kurikulum Baru 2006. padahal secara substansialnya, KTSP yang telah disahkan sebagai kurikulum baru Pendidikan Nasional tidak jauh berbeda dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, baik isi kurikulum maupun standar kelulusan.
Kurang tercapainya secara optimal penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 di Indonesia, menunjukkan kurang seriusnya pemerintah dalam menyikapi permasalahan pendidikan di negeri ini. Hal ini terbukti dari kurang optimalnya dalam melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang oprasional KBK 2004. Sehingga banyak guru dan steak holder pendidikan menjadi bingung untuk mengimplementasikan KBK 2004 tersebut.
Mungkin benar sebuah ungkapan yang mengatakan, bahwa Indonesia dalam menjalankan proses pendidikan menggunakan “Manajemen linglung”. Inilah yang disebut KBK adalah Kurikulum Berbasis Kebingungan. Bagaimana tidak membingungkan, KBK yang belum lama terealisasi secara optimal dan belum dievaluasi sejauh mana KBK tersebut berhasil, pemerintah akan merubah kurikulum 2004 menjadi kurikulum 2006. sebenarnya akan dibawa kemana kurikulum pendidikan Indonesia ini?
Tetapi apabila kurikulum baru 2006 nanti memang benar-benar disahkan, diharapkan agar dalam penerapan Kurikulum Baru 2006 nanti pemerintah lebih serius dapat mensosialisasikan isi dan penerapan Kurikulum baru sehingga guru tidak lagi kebingungan untuk dapat dengan baik menerapkan Kurikulum baru tersebut.
Mungkin kita semua mengetahui, bahwa selama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 diberlakukan mulai 2001, masih banyak guru yang masih belum memahami secara sempurna Kurikulum tersebut. Banyak guru yang merasa masih belum mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya KBK itu sendiri. Sehingga untuk menerapkan KBK di sekolah banyak menghadapi kesulitan.
Rendahnya pemahaman guru terhadap KBK merupakan persoalan lebih besar yang perlu diatasi secepatnya. Guru kurang paham KBK 2004 karena sosialisasinya yang tidak lancar, tidak merata dan tidak mendalam sehingga banyak guru yang masih bingung inti dari KBK dan bagaimana melaksanakannya.
Karena banyak guru belum bisa menjalankan perannya sebagai fasilitator, mereka akhirnya kembali pada metode pembelajaran konvensional yang telah mereka kenal sebelumnya. Guru dan buku teks pelajaran menjadi sumber informasi tunggal sementara murid diharuskan menerima semua informasi yang disampaikan guru.
Disamping Pemerintah mengeluarkan panduan pembuatan kurikulum baru 2006, pemerintah juga harus memberikan pemahan secara jelas tentang makna dan arti dari Kurikulum itu sendiri. Karena masih banyak guru yang memahami kurikulum itu dalam arti yang sangat sempit, yaitu kumpulan dari beberapa mata pelajaran yang harus diajarkan kepada anak didik di sekolah.
Sehingga dengan kondisi pemahaman yang demikian, guru akan menganggap murid sebagai manusia kosong yang siap diisi apa saja yang dikehendaki oleh guru sesuai dengan aturan main Kurikulum itu sendiri. Yang tercipta adalah Teacher oriented bukan student oriented yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk belajar bebas dari tekanan dan keterpaksaan.

Profesionalitas guru
Terlepas dari kurikulum nantinya, mau berdasarkan standar isi dan kompetensi atau standar lain, baik yang lama maupun yang baru, satu hal yang kiranya harus diperhatikan dalam memutuskan berlakunya suatu Kurikulum Nasional ialah penyiapan profesionalitas guru. Dan hal ini telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan disahkannya UU guru dan dosen pada 06 desember 2005 yang lalu.
Dengan UU guru dan dosen tersebut diharapkan kemampuan manajemen guru dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam menyusun Kurikulum maupun ketika mengimplementasikan kurikulum dalam proses belajar mengajar di sekolah. Kemampuan guru dalam mengelola dan menjalankan kurikulum, akan menentukan keberhasilan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Guru adalah aktor utama dalam pelaksanaan suatu kurikulum di sekolah, entah berdasarkan atau mengacu terhadap apa kurikulum tersebut. Dari kenyataan di lapangan, bila guru itu sendiri tidak siap untuk melaksanakan kurikulum tersebut, maka sebaik apapun kurikulum yang direncanakan dan dipikirkan para ahli dan birokrat pemerintah di Indonesia tidak akan pernah berjalan dengan baik. Akhirnya yang terjadi adalah guru bingung dalam melakukan proses mengajar
Dengan demikian, penetapan kurikulum baru 2006 hanya akan membuang banyak dana tanpa hasil yang sepadan karena guru tidak dapat melaksanakannya. Dana yang dibutuhkan untuk membuat dan mensosialisasikan kurikulum tersebut sangatlah besar. Padahal kondisi pendidikan saat ini sangat membutuhkan dana anggaran yang besar, seperti Negara–Negara lain. Namun sampai saat ini dari 20% anggaran pendidikan yang diambil dari APBN 2006 masih belum sepenuhnya terealisasikan.
Pengalaman dengan KBK kiranya dapat menjadi bahan refleksi nasional bagi para pemegang otoritas kebijakan. Meski sudah sekitar empat tahun KBK dicoba diaplikasikan, namun sampai saat ini masih terdapat sejumlah besar guru di daerah yang belum pernah mendengar istilah KBK. Sebagian besar lagi bingung karena tidak tahu persis isi dan bagaimana melaksanakan KBK, sebagian lagi bingung karena mau melaksanakan KBK tetapi fasilitas pendukungnya tidak ada.
Selain masih minimnya pemahaman guru terhadap konsep KBK, sebetulnya ada juga persoalan yang lebih mendasar, yakni ketersediaan akan sarana penunjang pembelajaran. Di banyak sekolah, sarana penunjang yang memadai belum terpenuhi. Terutama sekolah-sekolah yang letaknya jauh di pelosok desa. Sehingga target dari Kurikulum KBK itu sendiri, hanya tercapai pada tingkatan materi, dan tidak mampu dipraktekkan karena ketidaktersedianya fasilitas.
Jika KBK betul-betul dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan ditunjang oleh fasilitas pendidikan, maka pendidikan Indonesia akan lebih maju. Dan proses pendidikan yang egaliter, demokratis dan bebas dari tekanan akan terwujud. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, bahwa anak didik diberikan peluang untuk memilih mata pelajaran yang diminati sesuai dengan bakatnya.
Sebelum suatu kurikulum diberlakukan, pemerintah harus menyiapkan para guru agar nanti dapat melaksanakan kurikulum baru tersebut dengan jelas, benar, dan bertanggung jawab. Langkah–langkah yang mungkin harus dilakukan pemerintah dalam menyiapkan guru agar profesionalitasnya dapat dipertanggungjawabkan untuk mengelola Kurikulum adalah memberikan pemahaman kepada guru tentang isi dan hakikat Kurikulum yang baru ini. Oleh karena itu, perlu sosialisasi merata dan optimal di seluruh daerah Indonesia yang sangat luas dengan guru yang jumlahnya banyak tersebar di seluruh Indonesia, tentunya dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk sosialisasi.
Oleh karena itu, pemerintah jangan mengira guru akan mengetahui kurikulum baru tersebut dengan sendirinya. Ada baiknya, untuk mempercepat sosialisasi dan teks kurikulum yang baru diperbanyak untuk semua guru di Indonesia. Lalu, orang-orang yang sudah ditatar oleh pemerintah dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi.
Diharapkan dengan diberlakukannya kurikulum baru 2006 tersebut, proses pembelajaran di setiap sekolah akan memperhatikan potensi dan bakat yang dimiliki oleh anak didik. Dengan demikian guru bukan hanya mencekoki murid (teacher oriented), akan tetapi menitikberatkan pada pola belajar siswa aktif atau active learning. Guru tidak hanya sekadar berceramah, komunikasi berjalan dua arah dan sebanyak mungkin dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar: