“PENTINGNYA
PERANAN SEKTOR PUBLIK DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA”
Sektor publik muncul berawal dari adanya kebutuhan
masyarakat secara bersama terhadap barang atau layanan tertentu. Agar tercapai
prinsip keadilan dalam hal pengalokasian dan pendistribusian barang dan layanan
umum, maka dipilih sekelompok masyarakat sebagai pengelola, yang salah satunya
kini dikenal dengan sebutan pemerintah.
Sebagai penyelenggara pelayanan publik, pemerintah
baik pusat maupun daerah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari
pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran
pajak, retribusi dan berbagai pungutan lainnya.
Sektor publik tidak boleh diabaikan dan tidak mungkin
dihapuskan keberadaannya dalam suatu Negara. Kita semua sebagai warga Negara
membutuhkan sektor publik. Sekalipun anda bukan pegawai pemerintah, misalnya
sebagai pengusaha bisnis, anda tetap membutuhkan sektor publik. Anda tidak akan
mampu melepaskan diri dari tidak berhubung dengan sektor publik sama sekali.
Suatu saat anda mungkin membutuhkan dokumen-dokumen terkait dengan izin usaha,
kewarganegaraan, dan perpajakan yang semua itu mengharuskan anda bersinggungan
dengan sektor publik. Setidaknya kita semua membutuhkan keamanan, iklim
ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif, dan beberapa fasilitas publik yang
semua itu dihasilkan oleh sektor publik.
Oleh karenanya, ada beberapa alasan pentingnya sektor publik, yaitu :
1.
Sektor publik berfungsi menyediakan barang-barang
publik yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak disediakan oleh sektor
privat, maupun sektor sosial.
2.
Sektor publik dibutuhkan sebagai regulator.
3.
Sektor publik diperlukan sebagai pengelola Negara dan
pengemban amanah konstitusi melalui fungsi birokrasi pemerintahan.
Ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan evaluasi
pada sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga
pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak,
perizinan, investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, akta,
sertifikat tanah, listrik, air, telepon, pos, dan sebagainya.
Pada hakikatnya korupsi beserta kembarannya yakni
kolusi dan nepotisme bukanlah kegiatan sepihak, melainkan terjadi karena adanya
hubungan, misalnya antara aparat pemerintah dengan pengusaha. Oleh karena
adanya interaksi itulah, maka kemungkinan adanya KKN bisa terjadi, seperti
tawar menawar biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme,
penyuapan (sogok) yang disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih
dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan
ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Sektor pelayanan pajak, misalnya, merupakan sektor
yang dituding rawan korupsi. Di sana tempat terhimpun uang milyaran sampai
triliunan rupiah dari para wajib pajak, sehingga ada saja oknum yang tergoda
untuk menggerogotinya dengan berbagai cara. Perbuatan itu, bukan hanya
dilakukan oknum aparat pajak, melainkan juga oleh para wajib pajak. Modusnya
beraneka ragam mulai dari menggangsir setoran pajak, tawar menawar nilai pajak
sehingga pajak yang dibayar lebih kecil, menggelapkan pajak yang dibayarkan,
meminta persenan dari pemohon bebas pajak, memanipulasi laporan keuangan
sehingga nilai pajaknya berkurang, pemalsuan faktur pajak, dll.
Selain berupa korupsi, keluhan yang sering mengemuka
terhadap sektor pelayanan umumnya adalah menyangkut kualitas pelayanan seperti
sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit atau lamban, tidak
transparan, kurang informatif, kurang simpatik dan akomodatif, diskriminasi
pelayanan, tidak memiliki standar baku pelayanan, atau kurang konsisten
sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya.
Paling ironisnya, keluhan serupa juga dirasakan
sendiri oleh para PNS yang nota bene adalah sejawat atau sesama aparat
birokrasi pada saat menyelesaikan “urusan kepegawaian”, seperti usul kenaikan
pangkat, kenaikan gaji berkala, usul jabatan struktural dan fungsional, cuti,
bantuan kesejahteraan, dan sejenisnya. Keluhan itu seringkali dikaitkan dengan
adanya “budaya amplop” yang harus disediakan.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa di banyak
instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah tidak ada lagi meja yang
terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang ditelusuri kadangkala
cukup panjang, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap yang
dikeluarkan untuk memperpendek birokrasi pelayanan itu. Atau bagi masyarakat
yang enggan dengan birokrasi itu, kadangkala lebih memilih berurusan lewat
perantaraan calo.
Sektor publik merupakan lembaga yang menjalankan roda
pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena
itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara
pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih.
Namun jika pemerintah tidak menanganinya dengan baik
maka momok yang kerap ditudingkan pada sektor publik atau pemerintah itu justru
akan dijadikan sebagai sarang korupsi, kolusi, nepotisme, pemborosan negara,
kecurangan dan berbagai ketidakberesan dipemerintahan. Maka itu sangat
diperlukan sekali adanya audit pada sektor publik itu sendiri.
Kebutuhan masyarakat secara bersama terhadap barang
atau jasa tertentu sehingga diperlukan sektor publik. Juga demi menghindari
ketidakadilan, maka diserahkan kepada pihak atau pengurus tertentu. Apalagi
warga masyarakat yang taat membayar pajak untuk mendukung pengaturan barang
atau jasa oleh pengurus pada sektor publik itu. Sehingga keberadaannya tak
dapat dihindarkan, masyarakat butuh regulasi yang mengatur pemakaian
barang-barang publik.
Jadi sektor publik sangat dibutuhkan masyarakat dalam
menetapkan segala aturan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Coba bayangkan
jika kita tanpa aturan maka yang akan terjadi adalah ketimpangan, dan chaos,
Selanjutnya, juga bisa memperlancar semua aktivitas masyarakat yang beraneka
ragam dan bisa menegakkan aturan. Contoh : Aturan pedagang kaki lima agar
jalanan tidak macet dan polisi mengatur lalu lintas, jaga ketertiban dan
keamanan.
Tantangan
Kebijakan Publik di Indonesia
Saat ini, situasi dalam pemerintahan lebih sulit dalam
menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan yang akan diambil. Tidak seperti
pada masa Orde Baru yang begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan
pendekatan kekuasaan, proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan
untuk sebagian terasa kurang efektif.
Kenyataan ini berlaku di tingkat nasional maupun di
daerah. Demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih
partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap
kebijakan yang diambil. Tetapi proses demokrasi juga menuntut kesiapan perumus
kebijakan untuk melalui proses politik yang panjang, untuk menggunakan
keterampilan negosiasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua
pemangku kepentingan. Ini karena demokrasi mengakibatkan kecenderungan sistem
interaksi yang terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence)
seperti yang dikatakan dalam studi Hill (2005:105).
Konfigurasi politik di Indonesia kini telah dilengkapi
dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Pemilu yang bebas dan adil,
kebebasan berpendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber
informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik,
serta kelembagaan yang memungkinkan rakyat bisa mengontrol pemerintahan sebagai
ciri-ciri demokrasi seperti dikemukakan oleh Dahl (1971:3) telah berlaku di
Indonesia. Namun sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, banyak diantara
perumus kebijakan strategis yang sebenarnya belum siap untuk menerapkan inti
demokrasi (substantive democracy) karena sudah begitu lama terbiasa dengan
sistem yang otoritarian. Salah satu tantangan yang berat di Indonesia ialah
meyakinkan para perumus kebijakan agar tidak frustrasi dengan tatanan yang
demokratis lalu mengungkit nostalgia masa lalu ketika semuanya serba pasti.
Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia hingga saat
ini masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
a. Mewujudkan negara kesejahteraan (Welfare
State)
Welfare State merupakan suatu sistem yang memberi peran lebih
besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan dana publik demi menjamin
terpenuhinya kebutuhan dasar warganya (Spicker, 1988). Kondisi di Indonesia
dalam beberapa rezim Pemerintahan terakhir mengindikasikan masih jauhnya upaya
untuk mencapai kondisi Welfare State yang direpresentasikan oleh
beberapa faktor, sebagai berikut:
·
Sebanyak dua persen penduduk Indonesia,
menguasai 56 persen aset produktif nasional. Dari 56 persen aset produktif
nasional tersebut, 87 persen di antaranya berupa tanah. ada sekitar 56 persen
aset nasional yang dikuasai oleh dua persen saja penduduk Indonesia. Sebanyak
87 persen dari 56 persen aset nasional itu berupa tanah. (Sudjatmiko, 2012)
·
Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki
jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Dengan jumlah penduduk yang sangat
banyak tersebut tentunya pemerintah Indonesia harus berfikir sebaik-baiknya
agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dalam kondisi yang
terjadi saat ini kesejahteraan masyarakat Indonesia masih belum stabil, hal ini
dapat dilihat dari banyaknya jumlah pengangguran dan jumlah angka kemiskinan
yang terjadi di Indonesia.
b. Pemberantasan korupsi
Pemberantasan atau pengendalian korupsi merupakan salah satu
tantangan utama penerapan Kebijakan Publik di Indonesia yang dilatarbelakangi
oleh beberapa kondisi, sebagai berikut:
·
Korupsi adalah the root of all evil (Kwik,
2004).
·
Setelah reformasi, Indonesia menjadi salah satu
dr 10 negara terkorup di dunia.
·
Transparency International: “korupsi dalam lembaga
publik semakin mengakar”.
c. Masalah reformasi
Di negara kita, tantangan awal muncul dari persoalan
bagaimana menyelesaikan pertentangan antara kekuatan-kekuatan reformis dan
kekuatan-kekuatan yang pro status quo. Tantangan berikutnya yang menghadang
adalah bagaimana mengendalikan euforia yang timbul akibat lumpuhnya mekanisme
pengendalian sosial dalam masa transisi yang anomik yang menganiaya eksistensi
publik. Tantangan ketiga, adalah bagaimana mengkristalkan gerakan reformasi ke
dalam sebuah sistem politik yang demokratik dan santun dalam rangka menciptakan
kesejahteraan dan perlindungan optimal bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Masalah ekonomi
Krisis ekonomi yang bertransformasi menjadi krisis
multi-dimensi dan berkepanjangan, mempunyai dampak yang luas dan intens bagi
ketahanan hidup, baik bagi warga negara secara individual maupun bagi negara
secara institusional. Kompleksitas persoalan yang bermula dari krisis ekonomi,
tidak dapat hanya dikonseptualisasi secara ekonomis semata. Membahas masalah
tersebut berarti memfokuskan diri pada bagaimana perilaku individu dan
institusi-institusi ekonomi bertali-temali dengan, dan bahkan ditentukan oleh
institusi-institusi sosial lainnya. Belajar dari pengalaman dan kearifan masa
lalu, ternyata jelas, bahwa transaksi-transaksi ekonomi berlangsung di atas
keterkaitan sosial yang ada. Hal ini berlaku, baik di masyarakat tradisional
maupun di masyarakat modern. Absennya pemahaman demikian mengenai masalah
ekonomi, menyebabkan tiadanya inspirasi khususnya bagi para pejabat negara
untuk membangun ekonomi publik dengan modal tanpa menghancurkan tatanan sosial
dan kultural yang dimiliki bangsa ini. Kesungguhan mengurus masyarakat miskin
di banyak wilayah di tanah air (yang memang sangat sukar) tetapi merupakan
peluang dan sekaligus ancaman jika tidak dilakukan secara sungguh-sungguh,
terpadu dan terus menerus.
e. Masalah religiusitas
Secara sosiologis agama dipahami tidak saja sebagai sebuah
sistem kepercayaan yang berkaitan dengan proses transendensi pengalaman
manusia, namun juga sebuah institusi yang mewadahi interaksi sosial, baik antar
pemeluk agama yang sama maupun antar individu yang memeluk agama berbeda.
Dengan demikian, persoalan-persoalan keberagamaan, meskipun bermula dari sumber
yang pribadi, namun dalam ekspresinya tidak saja mempunyai dampak bagi orang
secara individual, tetapi juga mempunyai dampak secara publik.
f. Masalah kepatuhan sosial
Jalan raya adalah cermin kepatuhan sosial sebuah bangsa,
demikian kata-kata bijak yang sering terungkap dari mereka yang menyukai
perjalanan. Dengan menganalisis perilaku pengendara di jalan raya seseorang
dapat mempelajari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat penggunanya, bukan
saja yang menyangkut aspek ketaatan dan tingkat disiplin, tingkat kesantunan
dan penghargaan terhadap orang lain, tetapi juga tingkat kemampuan penegak
hukum untuk menindak para pelaku pelanggaran. Perilaku berkendaraan di jalan
raya, jelas merupakan tindakan publikyang menuntut tingkat kedewasaan tertentu.
Tindakan indisipliner seorang pengemudi, tidak saja dapat berakibat fatal bagi
dirinya, tetapi juga dapat membahayakan hidup orang lain. Kenyataan bahwa tata
tertib berlalulintas di kota-kota besarIndonesia sangat memprihatinkan serta
tingginya tingkat kecelakaan lalulitas setiap tahun, merupakan indikasi dan
sekaligus undangan untuk memahami dan mengkaji masalah tersebut secara seksama.
Pertanyaannya, bagaimana kepatuhan sosial semacam itu dapat dipahami secara
teoritik?
g. Masalah Pengrusakan Lingkungan
Kerusakan lingkungan di negara kita terjadi di mana-mana. Di
darat, di laut, di dataran tinggi, di dataran rendah. Di lahan kering dan di
lahan basah. Kerusakan lingkungan ini dilakukan secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama. Kerusakan lingkungan tidak saja dilakukan oleh masyarakat bawah,
tetapi juga oleh para pemilik modal (swasta) bahkan disponsori oleh pemerintah.
h. Pelayanan publik
Pelayanan publik di negeri ini merupakan bentuk pelayanan
yang jauh dari baik jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.
Pelayanan publik kita, meskipun sudah ada diatur di dalam suatu Kepmenpan yang
khusus tentang pelayanan prima, namun masih jauh dari harapan. Di bidang
pertanahan dan perizinan masih ditandai dengan ketidak-jelasan waktu
selesainya. Demikian juga dengan pendanaannya. Masih ada dana-dana yang tidak
resmi yang dipungut dengan sistem "malu-malu kucing". Sistem ini
menjadikan penyebab mengapa hanya 10% saja dari permohonan peningkatan status
kepemilikan tanah serta perizinan yang selesai tepat waktu. Mengapa harus malu-malu?
Jadikan saja pemungutan tidak resmi itu menjadi pungutan resmi. Di samping jadi
halal, juga masyarakat menjadi puas dan jelas sewaktu dilayani oleh pejabat
publik. Pelayanan Jalan dan Jembatan Dalam pembukaan UUD 1945 sangat jelas
bahwa tujuan didirikannya negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
Adalah aneh bin ajaib jika masyarakat bangsa ini belum memperoleh kesejahteraan
secara utuh ketika mereka memanfaatkan jalan dan jembatan.