Selasa, 23 Mei 2017

“PENTINGNYA PERANAN SEKTOR PUBLIK DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA”

Sektor publik muncul berawal dari adanya kebutuhan masyarakat secara bersama terhadap barang atau layanan tertentu. Agar tercapai prinsip keadilan dalam hal pengalokasian dan pendistribusian barang dan layanan umum, maka dipilih sekelompok masyarakat sebagai pengelola, yang salah satunya kini dikenal dengan sebutan pemerintah.
Sebagai penyelenggara pelayanan publik, pemerintah baik pusat maupun daerah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi dan berbagai pungutan lainnya.
Sektor publik tidak boleh diabaikan dan tidak mungkin dihapuskan keberadaannya dalam suatu Negara. Kita semua sebagai warga Negara membutuhkan sektor publik. Sekalipun anda bukan pegawai pemerintah, misalnya sebagai pengusaha bisnis, anda tetap membutuhkan sektor publik. Anda tidak akan mampu melepaskan diri dari tidak berhubung dengan sektor publik sama sekali. Suatu saat anda mungkin membutuhkan dokumen-dokumen terkait dengan izin usaha, kewarganegaraan, dan perpajakan yang semua itu mengharuskan anda bersinggungan dengan sektor publik. Setidaknya kita semua membutuhkan keamanan, iklim ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif, dan beberapa fasilitas publik yang semua itu dihasilkan oleh sektor publik.
Oleh karenanya, ada beberapa alasan pentingnya sektor publik, yaitu :
1.        Sektor publik berfungsi menyediakan barang-barang publik yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tidak disediakan oleh sektor privat, maupun sektor sosial.
2.        Sektor publik dibutuhkan sebagai regulator.

3.        Sektor publik diperlukan sebagai pengelola Negara dan pengemban amanah konstitusi melalui fungsi birokrasi pemerintahan.

Ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan evaluasi pada sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB,  transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, telepon, pos, dan sebagainya.
Pada hakikatnya korupsi beserta kembarannya yakni kolusi dan nepotisme bukanlah kegiatan sepihak, melainkan terjadi karena adanya hubungan, misalnya antara aparat pemerintah dengan pengusaha. Oleh karena adanya interaksi itulah, maka kemungkinan adanya KKN bisa terjadi, seperti tawar menawar biaya, pungutan liar, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, penyuapan (sogok) yang disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Sektor pelayanan pajak, misalnya, merupakan sektor yang dituding rawan korupsi. Di sana tempat terhimpun uang milyaran sampai triliunan rupiah dari para wajib pajak, sehingga ada saja oknum yang tergoda untuk menggerogotinya dengan berbagai cara. Perbuatan itu, bukan hanya dilakukan oknum aparat pajak, melainkan juga oleh para wajib pajak. Modusnya beraneka ragam mulai dari menggangsir setoran pajak, tawar menawar nilai pajak sehingga pajak yang dibayar lebih kecil, menggelapkan pajak yang dibayarkan, meminta persenan dari pemohon bebas pajak,  memanipulasi laporan keuangan sehingga nilai pajaknya berkurang, pemalsuan faktur pajak, dll.
Selain berupa korupsi, keluhan yang sering mengemuka terhadap sektor pelayanan umumnya adalah menyangkut kualitas pelayanan seperti sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit atau lamban, tidak transparan, kurang informatif, kurang simpatik dan akomodatif, diskriminasi pelayanan, tidak memiliki standar baku pelayanan, atau kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu dan biaya.
Paling ironisnya, keluhan serupa juga dirasakan sendiri oleh para PNS yang nota bene adalah sejawat atau sesama aparat birokrasi pada saat menyelesaikan “urusan kepegawaian”, seperti usul kenaikan pangkat, kenaikan gaji berkala, usul jabatan struktural dan fungsional, cuti, bantuan kesejahteraan, dan sejenisnya. Keluhan itu seringkali dikaitkan dengan adanya “budaya amplop” yang harus disediakan.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah tidak ada lagi meja yang terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang ditelusuri kadangkala cukup panjang, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap yang dikeluarkan untuk memperpendek birokrasi pelayanan itu. Atau bagi masyarakat yang enggan dengan birokrasi itu, kadangkala lebih memilih berurusan lewat perantaraan calo.
Sektor publik merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih.
Namun jika pemerintah tidak menanganinya dengan baik maka momok yang kerap ditudingkan pada sektor publik atau pemerintah itu justru akan dijadikan sebagai sarang korupsi, kolusi, nepotisme, pemborosan negara, kecurangan dan berbagai ketidakberesan dipemerintahan. Maka itu sangat diperlukan sekali adanya audit pada sektor publik itu sendiri.
Kebutuhan masyarakat secara bersama terhadap barang atau jasa tertentu sehingga diperlukan sektor publik. Juga demi menghindari ketidakadilan, maka diserahkan kepada pihak atau pengurus tertentu. Apalagi warga masyarakat yang taat membayar pajak untuk mendukung pengaturan barang atau jasa oleh pengurus pada sektor publik itu. Sehingga keberadaannya tak dapat dihindarkan, masyarakat butuh regulasi yang mengatur pemakaian barang-barang publik.
Jadi sektor publik sangat dibutuhkan masyarakat dalam menetapkan segala aturan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Coba bayangkan jika kita tanpa aturan maka yang akan terjadi adalah ketimpangan, dan chaos, Selanjutnya, juga bisa memperlancar semua aktivitas masyarakat yang beraneka ragam dan bisa menegakkan aturan. Contoh : Aturan pedagang kaki lima agar jalanan tidak macet dan polisi mengatur lalu lintas, jaga ketertiban dan keamanan.

Tantangan Kebijakan Publik di Indonesia
Saat ini, situasi dalam pemerintahan lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan yang akan diambil. Tidak seperti pada masa Orde Baru yang begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan, proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif.
Kenyataan ini berlaku di tingkat nasional maupun di daerah. Demokrasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan yang lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan yang diambil. Tetapi proses demokrasi juga menuntut kesiapan perumus kebijakan untuk melalui proses politik yang panjang, untuk menggunakan keterampilan negosiasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Ini karena demokrasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi yang terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence) seperti yang dikatakan dalam studi Hill (2005:105).
Konfigurasi politik di Indonesia kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Pemilu yang bebas dan adil, kebebasan berpendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan yang memungkinkan rakyat bisa mengontrol pemerintahan sebagai ciri-ciri demokrasi seperti dikemukakan oleh Dahl (1971:3) telah berlaku di Indonesia. Namun sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, banyak diantara perumus kebijakan strategis yang sebenarnya belum siap untuk menerapkan inti demokrasi (substantive democracy) karena sudah begitu lama terbiasa dengan sistem yang otoritarian. Salah satu tantangan yang berat di Indonesia ialah meyakinkan para perumus kebijakan agar tidak frustrasi dengan tatanan yang demokratis lalu mengungkit nostalgia masa lalu ketika semuanya serba pasti.
Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
a.   Mewujudkan negara kesejahteraan (Welfare State)
Welfare State merupakan suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya (Spicker, 1988). Kondisi di Indonesia dalam beberapa rezim Pemerintahan terakhir mengindikasikan masih jauhnya upaya untuk mencapai kondisi Welfare State yang direpresentasikan oleh beberapa faktor, sebagai berikut:
·         Sebanyak dua persen penduduk Indonesia, menguasai 56 persen aset produktif nasional. Dari 56 persen aset produktif nasional tersebut, 87 persen di antaranya berupa tanah. ada sekitar 56 persen aset nasional yang dikuasai oleh dua persen saja penduduk Indonesia. Sebanyak 87 persen dari 56 persen aset nasional itu berupa tanah. (Sudjatmiko, 2012)
·         Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak tersebut tentunya pemerintah Indonesia harus berfikir sebaik-baiknya agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dalam kondisi yang terjadi saat ini kesejahteraan masyarakat Indonesia masih belum stabil, hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pengangguran dan jumlah angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia.

b.   Pemberantasan korupsi
Pemberantasan atau pengendalian korupsi merupakan salah satu tantangan utama penerapan Kebijakan Publik di Indonesia yang dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi, sebagai berikut:
·         Korupsi adalah the root of all evil (Kwik, 2004).
·         Setelah reformasi, Indonesia menjadi salah satu dr 10 negara terkorup di dunia.
·         Transparency International: “korupsi dalam lembaga publik semakin mengakar”.

c.    Masalah reformasi
Di negara kita, tantangan awal muncul dari persoalan bagaimana menyelesaikan pertentangan antara kekuatan-kekuatan reformis dan kekuatan-kekuatan yang pro status quo. Tantangan berikutnya yang menghadang adalah bagaimana mengendalikan euforia yang timbul akibat lumpuhnya mekanisme pengendalian sosial dalam masa transisi yang anomik yang menganiaya eksistensi publik. Tantangan ketiga, adalah bagaimana mengkristalkan gerakan reformasi ke dalam sebuah sistem politik yang demokratik dan santun dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan perlindungan optimal bagi seluruh rakyat Indonesia.

d.   Masalah ekonomi
Krisis ekonomi yang bertransformasi menjadi krisis multi-dimensi dan berkepanjangan, mempunyai dampak yang luas dan intens bagi ketahanan hidup, baik bagi warga negara secara individual maupun bagi negara secara institusional. Kompleksitas persoalan yang bermula dari krisis ekonomi, tidak dapat hanya dikonseptualisasi secara ekonomis semata. Membahas masalah tersebut berarti memfokuskan diri pada bagaimana perilaku individu dan institusi-institusi ekonomi bertali-temali dengan, dan bahkan ditentukan oleh institusi-institusi sosial lainnya. Belajar dari pengalaman dan kearifan masa lalu, ternyata jelas, bahwa transaksi-transaksi ekonomi berlangsung di atas keterkaitan sosial yang ada. Hal ini berlaku, baik di masyarakat tradisional maupun di masyarakat modern. Absennya pemahaman demikian mengenai masalah ekonomi, menyebabkan tiadanya inspirasi khususnya bagi para pejabat negara untuk membangun ekonomi publik dengan modal tanpa menghancurkan tatanan sosial dan kultural yang dimiliki bangsa ini. Kesungguhan mengurus masyarakat miskin di banyak wilayah di tanah air (yang memang sangat sukar) tetapi merupakan peluang dan sekaligus ancaman jika tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, terpadu dan terus menerus.

e.   Masalah religiusitas
Secara sosiologis agama dipahami tidak saja sebagai sebuah sistem kepercayaan yang berkaitan dengan proses transendensi pengalaman manusia, namun juga sebuah institusi yang mewadahi interaksi sosial, baik antar pemeluk agama yang sama maupun antar individu yang memeluk agama berbeda. Dengan demikian, persoalan-persoalan keberagamaan, meskipun bermula dari sumber yang pribadi, namun dalam ekspresinya tidak saja mempunyai dampak bagi orang secara individual, tetapi juga mempunyai dampak secara publik.

f.     Masalah kepatuhan sosial
Jalan raya adalah cermin kepatuhan sosial sebuah bangsa, demikian kata-kata bijak yang sering terungkap dari mereka yang menyukai perjalanan. Dengan menganalisis perilaku pengendara di jalan raya seseorang dapat mempelajari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat penggunanya, bukan saja yang menyangkut aspek ketaatan dan tingkat disiplin, tingkat kesantunan dan penghargaan terhadap orang lain, tetapi juga tingkat kemampuan penegak hukum untuk menindak para pelaku pelanggaran. Perilaku berkendaraan di jalan raya, jelas merupakan tindakan publikyang menuntut tingkat kedewasaan tertentu. Tindakan indisipliner seorang pengemudi, tidak saja dapat berakibat fatal bagi dirinya, tetapi juga dapat membahayakan hidup orang lain. Kenyataan bahwa tata tertib berlalulintas di kota-kota besarIndonesia sangat memprihatinkan serta tingginya tingkat kecelakaan lalulitas setiap tahun, merupakan indikasi dan sekaligus undangan untuk memahami dan mengkaji masalah tersebut secara seksama. Pertanyaannya, bagaimana kepatuhan sosial semacam itu dapat dipahami secara teoritik?

g.    Masalah Pengrusakan Lingkungan
Kerusakan lingkungan di negara kita terjadi di mana-mana. Di darat, di laut, di dataran tinggi, di dataran rendah. Di lahan kering dan di lahan basah. Kerusakan lingkungan ini dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Kerusakan lingkungan tidak saja dilakukan oleh masyarakat bawah, tetapi juga oleh para pemilik modal (swasta) bahkan disponsori oleh pemerintah.

h.   Pelayanan publik
Pelayanan publik di negeri ini merupakan bentuk pelayanan yang jauh dari baik jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Pelayanan publik kita, meskipun sudah ada diatur di dalam suatu Kepmenpan yang khusus tentang pelayanan prima, namun masih jauh dari harapan. Di bidang pertanahan dan perizinan masih ditandai dengan ketidak-jelasan waktu selesainya. Demikian juga dengan pendanaannya. Masih ada dana-dana yang tidak resmi yang dipungut dengan sistem "malu-malu kucing". Sistem ini menjadikan penyebab mengapa hanya 10% saja dari permohonan peningkatan status kepemilikan tanah serta perizinan yang selesai tepat waktu. Mengapa harus malu-malu? Jadikan saja pemungutan tidak resmi itu menjadi pungutan resmi. Di samping jadi halal, juga masyarakat menjadi puas dan jelas sewaktu dilayani oleh pejabat publik. Pelayanan Jalan dan Jembatan Dalam pembukaan UUD 1945 sangat jelas bahwa tujuan didirikannya negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Adalah aneh bin ajaib jika masyarakat bangsa ini belum memperoleh kesejahteraan secara utuh ketika mereka memanfaatkan jalan dan jembatan.



Perempuan dan Pembangunan

Diskriminasi dan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki merupakan beberapa isu utama yang coba dijelaskan oleh teori feminisme. Perkembangan dunia sejak tahun 1930-an hingga globalisasi saat ini turut mengubah perspektif feminisme dari masa ke masa. Perspektif feminisme awal atau kita sebut dengan feminisme liberal, begitu kental dengan pengaruh teori modernisasi. Sehingga Jane L. Parpart menyebut usaha yang dilakukan oleh feminisme liberal adalah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam pembangunan (Women in Development), misalnya melalui lembaga bantuan donor United States Agency for Intenational Development (USAID) sehingga perempuan dapat terintegrasi pada ekonomi di negaranya masing-masing. Namun permasalahan utama perempuan yaitu kebijakan pembangunan yang bias gender serta adanya diskriminasi terhadap perempuan, belum dapat diatasi melalui perspektif ini, khususnya dalam upaya melakukan perubahan transformatif di masyarakat.
Perspektif yang berkembang selanjutnya adalah Woman and Development (WAD). WAD memandang bahwa kontribusi perempuan dalam pembangunan sering termarjinalisasi oleh kebijakan nasional dan internasional. Usaha yang dilakukan oleh kelompok ini adalah membuat kampanye perubahan kebijakan dan menempatkan isu perempuan pada agenda nasional dan internasional. Program diseminasi mengenai marjinalisasi perempuan dalam kebijakan menjadi agenda utama perspektif ini. Mereka memandang birokrasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan, dan meningkatkan keterikatan perempuan, baik melalui kelompok otonomi maupun jaringan luas. Namun sekali lagi, WAD tidak mampu menjelaskan jika perempuan merupakan suatu kelompok kelas yang termarjinalisasi.
Perspektif selanjutnya adalah Gender and Development yang berkembang pada tahun 1980-an. GAD merupakan perspektif yang memandang status perempuan sangat tergantung dari kondisi material individu pada level nasional, masyarakat, dan rumah tangga. Selain itu, kondisi material perempuan, diatur oleh norma-norma yang telah disepakati, yang menjelaskan mengenai peran dan tugas perempuan serta laki-laki dalam masyarakat. Fokus perspektif ini bukan saja perempuan tetapi juga laki-laki, karena subordinasi terjadi karena hubungan laki-laki dengan perempuan.
Beberapa konsep kemudian muncul pada awal tahun 1990-an ketika semakin berkembangnya globalisasi. Globalisasi dianggap memunculkan masalah baru bagi perempuan. Perpektif yang muncul tidak lagi cukup dalam menjelaskan posisi perempuan. Beberapa perspektif masih bisa digunakan dalam membahas posisi perempuan diantaranya feminisme radikal, feminisme sosialisme, dan femnisme hitam.
Feminisme radikal mulai muncul diawal tahun 1960-an di Amerika Serikat sebagai respon sexism yang dialami oleh perempuan bekerja dalam rangka pergerakan hak-hak sipil dan anti peperangan. Banyak dari aktivis ini terinspirasi teori Marxist yang juga dianggap seksis. Marxisme tradisional menyebutkan bahwa kelas merupakan faktor utama penekan kelas pekerja dan keseteraaan gender baru akan terjadi jika terjadi penghapusan kelas di masyarakat. Kelompok feminis radikal juga menganggap bahwa pendapat jika kesetaraan gender dianakduakan dibandingkan kesetaraan kelas dengan menghilangkan peran perempuan.
Feminis radikal juga beranggapan bahwa subordinasi perempuan, tidak selalu bergantung dari bentuk-bentuk dominasi, seperti kelas. Mereka berpendapat jika patriarki, atau dominasi terhadap perempuan oleh laki-laki, menjadi faktor utama. Subordinasi perempuan terjadi di dalam kehidupan individu dan praktek sosial, hal ini lebih sulit diubah dibandingkan dengan kelas.
Dalam tulisannya “The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution”, Shulamith FireStone berpendapat bahwa subordinasi perempuan mengakar secara biologis atau disebut fisiologi reproduktif. Stone menyebutkan hanya dengan teknologi yang maju, seperti “bayi test-tube” seorang perempuan akan mencapai kesetaraan dan tidak akan lagi bergantung pada perempuan.
Pendapat lain disampaikan oleh feminis radikal lainnya yang memandang perempuan secara biologis lebih superior daripada perempuan karena kemampuannya dalam melahirkan. Banyak feminis radikal berpendapat bahwa subordinasi perempuan berakar dalam kontrol laki-dalam memandang kesuburan dan seksualitas perempuan, melebihi tubuh perempuan.
Feminis radikal juga memperhatikan isu seksualitas. Mereka memandang bahwa isu-isu pribadi merupakan  isu yang politik dan secara fundamental diatur oleh kekuatan laki-laki. Pembagian isu-isu yang sifatnya pribadi merupakan usaha laki-laki untuk melemahkan kekuatan perempuan. Feminis radikal merupakan kelompok yang mendeklarasikan bahwa “the personal is political”.
Dalam kehidupan sehari-hari feminis radikal berusaha menciptakan berbagai institusi sosial alternatif agar perempuan dapat mencukupi kebutuhannya, seperti pendirian pusat kesehatan perempuan, pendidikan perempuan, pusat bisnis perempuan, dan bantuan bagi perempuan dalam kondisi krisis. Feminis radikal juga memfokuskan pada hak-hak perempuan seperti motherhood, aborsi, dan orientasi sosial. Kelompok feminis radikal memandang aktivis sosial harus melawan subordinasi perempuan dan mengusahakan perubahan masyarakat untuk menghancurkan patriarki dan mencapai kesetaraan perempuan.
Pandangan feminisme selanjutnya muncul tahun 1970-an, dimana beberapa feminis tidak puas dengan pandangan Marxisme tradisional, yang memandang subordinasi perempuan merupakan kelas kedua dibandingkan subordinasi kelas. Mereka juga merasa tidak nyaman dengan feminisme radikal, yang tidak memperdulikan kelas dan memandang patriarki sebagai bentuk utama subordinasi. Feminis sosialis memandang bahwa kelas dan subordinasi perempuan merupakan isu yang setara dan harus dihadapi secara simultan.
Dalam membangun teori dan praktes untuk mencapai permasalahan ini, feminis sosialis menggunakan metode Marxisme hisotris dialektika. Tujuan mereka adalah untuk merevisi Marxisme dengan menggabungkan dengan penadangan feminis radikal. Feminis sosialis mendefisinikan ulang konsepsi patriarki sebagai suatu hubungan hierarki dnengan dasar material dimana laki-laki mengontrol seksualitas dan kekuatan tenaga kerja perempuan. Mereka menambahkan dimensi historis bagi konsep patriarki, dengan berpendapat bahwa berbagai bentuk patriarki terjadi pada periode sejarah yang berbeda dan kondisi berbeda terjadi pada berbagai ras, budaya, politik, ekonomi, dan konteks agama. Feminis sosialis juga perhatian terhadap hubungan reproduksi dan produksi yang didominasi oleh laki-laki kapitalis.
Juliet Mitchell dalam “Women the Longest Revolution” berargumen setidaknya terdapat empat struktur kunci yang menyebabkan subordinasi perempuan, yaitu produksi, reproduksi, seksualitas dan pengasuhan anak. Untuk memahami subordinasi perempuan, Mitchell memandang perlu pemahaman tidak hanya kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal tetapi juga melihat kebutuhan seksualitas, anak-anak dan emosi perempuan. Pada perkembangannya, feminis sosialis juga menambahkan isu lain seperti ras, etnisitas, agama, dan preferensi seksual, serta kolonialisme dan imperialisme.
Kate Young dan beberapa feminis sosial lainnya pada akhir 1980-an memandang dalam mengalisa situasi perempuan, dapat melihat pada tiga hal yaitu pertama, pada psikososial yang fokus pada didapatkannya identitas maskulinitas dan feminitas; kedua, sosial-biologi yang fokus tidak hanya faktor biologis tetapi juga perbedaan perempuan dan laki-laki menyebabkan peningkatan nilai laki-laki; dan ketiga, sosiopolitical yang fokus pada subjektivitas atau bagaimana perasaan orang-orang mengenai diri mereka sebagai anggota ras atau kelas tertentu, dan bagaimana gender berkontribusi pada membentuk sistem politik dan ekonomi.
Feminis sosialis memperhatikan mempromosikan kebijakan untuk mengeliminasi segregasi gender dalam lingkup domestik dan penggajian tenaga kerja, mengeliminasi kekerasan di tempat kerja, kesetaraan pendapatan, peningkatan kontrol perempuan dan kondisi kerja, mentransformasi kondisi dimana perempuan dapat memilih reproduksi, dan meningkatkan tanggungjawab masyarakat terhadap pengasuhan anak.
Pandangan feminis selanjutnya adalah feminisme hitam (black feminism). Sejarawan diaspora Afrika selama ini menandang jika perempuan berkulit hitam memiliki pengalaman tersendiri menghadapi dunia baru dan Eropa. Perempuan berkulit hitam menghadapi berbagai permasalahan diantaranya menjadi perempuan dan  berkulit hitam. Mayoritas dari mereka mengalami kehidupan ekonomi yang keras. Hingga saat ini, akademisi feminis baik dari Amerika Utara dan Eropa sering tidak memperdulikan pengalaman perempuan berkulit hitam. Mereka lebih banyak memandang pada pengalaman permepuan berkulit putih, khususnya kelas menengah. Feminis berkulit hitam mengkritisi akademisi kulit putih selalu menandang dari sejarah dan budaya mereka dan melupakan dampak asimetris hubungan ras dalam melihat pengalaman dab hubungan gender.

      Feminis dari komunitas berkulit hitam, mendapatkan penjelasan alternatif bagi kondisi perempuan berkulit hitam dalam sejarah mereka. Akademisi feminis hitam, memandang perempuan berkulit hitam, menghadapi permasalahan tidak saja ras, tetapi juga kelas dan gender. Akademisi feminis hitam menciptakan agenda politik, yaitu black feminist manifesto yang memandang feminis politik harus anti-rasis dan anti-seksis. Manifesto berpendapat perlunya perjuangan bersama perempuan berkulit putih menghadapi seksism, baik yang dilakukan oleh perempuan berkulit hitam maupun laki-laki.

Nasionalisme dan Politik Identitas


 Kewarganegaraan republik dapat dilihat dari kerangka praksis. Kewarganegaraan republik melihat keterlibatan dan partisipasi aktif warga masyarakat dalam negara. Keterlibatan warga secara aktif membentuk perkembangan masa depan. Partisipasi masyarakat dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonommi dimana warga menjadi anggotanya. Contoh yang terjadi di masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam membangun dan memelihara sumber air bersih, membersihkan saluran air. Partisipasi aktif dari warga negara sebelumnya pernah dikemukakakan oleh Aristoteles. Aristoteles menyebut masyarakat menerapkan demokrasi langsung, dengan memenuhi antara lain besaran populasi yang ideal berjumlah sekitar 40.000 orang serta penduduk mengenal satu lainnya dan muncul keakraban diantara mereka sehingga membentuk persaudaraan antara warga.
Salah satu model partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang kerap menjadi contoh adalah participatory budgeting di Porto Alegre, Brazil. Pasca tahun 1980-an di Brazil, terjadi desntralisasi kekuasaan, sehignga pemerintah daerah/lokal memiliki kewenangan dalam mengatur dan megnalokasikan anggaran dan kebijakan yang harus mereka bentuk. Menurut Arnstein (1971), model yang berkembang di Porto Alegre, mencapai tahapan citizen control. Proses penganggaran dilakukan berjenjang mulai dari tingkat lingkungan, komite, komite khusus, hingga delegasi tingkat kota yang kemudian memutuskan alokasi anggaran. Partisipasi berjalan secara inklusif, seluruh warga terlibat tanpa adanya diskriminasi termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. [1]
Konsepsi lain kewarganegaraan dijelaskan oleh Will Kymlica. Kymlica melihat adanya gerakan sosial dan politik sebagai ekspresi identitas dan budaya dalam negara seperti gerakan kelompok etnis Chechen di Rusia, gerakan masyarakat etnis di Balkan, serta gerakan keturunan Perancis di Quebec Kanada. Konsepsi ini sulit dijelasakan jika menggunakan konsepsi kewarganegaraan yang lama. Menurut Kymlica seorang individu mempunyai otonomi, namun juga merupakan bagian dari kelompoknya. Maka di negara multikultur, seorang warga negara selain seorang individu juga merupakan anggota kelompok budaya tertentu. Untuk itu penting bagi negara untuk memperdulikan dua macam hak asasi manusia, pertama, hak asasi universal yang dikenakan setiap individu tanpa membedakan kelompok budaya individu berasal; dan kedua hak asasi yang dilengkapi dengan hak-hak kelompok yangberbeda atau status khusus bagi budaya minoritas. Beberapa hak-hak yang diberikan kepada minoritas antara lain; hak-hak pemerintahan sendiri, berupa pemberian kekuasaan pada kelompok minoritas, terkadang dalam bentuk federalisme; kedua, dukungan keuangan dan perlindungan bagi kelompok etnis dan keagamaan tertentu; serta ketiga, jaminan kursi etnis atau bangsa dalam institusi negara.
Sementara ini di Indonesia, tingkat diskriminasi terhadap kelompok minoritas terus terjadi, termasuk terhadap kelompok Ahmadiyah. Ahmadiyah dianggap kelompok minoritas, karena telah menodai keyakinan yang telah dipegang oleh Islam mayoritas, untuk itu Ahmadiyah dibubarkan pemerintah dan anggotanya harus bertaubat, selain itu Ahmadiyah dianggap mengganggu keamanan dan kestabilan masyarakat, oleh karena itu mereka dipaksa meninggalkan kampung halamannya. Kasus diskriminasi terhadap menunjukkan pemerintah belum mengadopsi prinsip multikulturalisme dalam kebijakannya. Ahmadiyah meski minoritas harus tetap mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara sekaligu hak kolektifnya sebagai suatu identitas kultural. [2]
Konsepsi selanjutnya mengenai kewarganegaraan yaitu kewarganegaraan global-kosmopolitan. Konsepsi ini melihat pada era globalisasi, sifat kekuasaan negara dan kondisi warga negara telah berubah. Pasar modal global dan internasionalisasi hubungan produksi telah membatasi kapasitas negara menentuka kebijakan ekonomi nasional secara otonom. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Kebijakan ini tidak diputuskan oleh Yudhoyono semata karena kekurangan bahan bakar minyak tetapi kondisi internasional yaitu kenaikan harga minyak dunia yang memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga minyak. Hal penting dari konsepsi ini adalah bata-batas negara dan kesetiaan atau loyalitas pada negara nasional tidak penting lagi. Kewarganegaraan global merupakan upaya membuat kewarganegaran bersifat universal dengna mengekstensi hak-hak ke dalam hubungan internasional dan mengakui hak-hak kelompok khusus.



[1] Kadek Dwita Apriani, “Respon Publik Terhadap Model Penganggaran Partisipatif dalam Pembangunan Desa: Studi Tiga Provinsi di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian Politik, Volume 13, No. 2, Desember 2016, hlm. 138.
[2] Ilham Mudzir, “Negara, Hak-hak Minoritas, dan Multikulturalisme (Kasus Ahmadiyah” dalam Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012/1433, hlm. 184.