Kewarganegaraan republik dapat dilihat dari kerangka
praksis. Kewarganegaraan republik melihat keterlibatan dan partisipasi aktif
warga masyarakat dalam negara. Keterlibatan warga secara aktif membentuk
perkembangan masa depan. Partisipasi masyarakat dalam bidang politik, sosial,
budaya, ekonommi dimana warga menjadi anggotanya. Contoh yang terjadi di
masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam membangun dan memelihara sumber
air bersih, membersihkan saluran air. Partisipasi aktif dari warga negara
sebelumnya pernah dikemukakakan oleh Aristoteles. Aristoteles menyebut
masyarakat menerapkan demokrasi langsung, dengan memenuhi antara lain besaran
populasi yang ideal berjumlah sekitar 40.000 orang serta penduduk mengenal satu
lainnya dan muncul keakraban diantara mereka sehingga membentuk persaudaraan
antara warga.
Salah satu model partisipasi masyarakat dalam
pembangunan yang kerap menjadi contoh adalah participatory budgeting di Porto Alegre, Brazil. Pasca tahun
1980-an di Brazil, terjadi desntralisasi kekuasaan, sehignga pemerintah
daerah/lokal memiliki kewenangan dalam mengatur dan megnalokasikan anggaran dan
kebijakan yang harus mereka bentuk. Menurut Arnstein (1971), model yang
berkembang di Porto Alegre, mencapai tahapan citizen control. Proses
penganggaran dilakukan berjenjang mulai dari tingkat lingkungan, komite, komite
khusus, hingga delegasi tingkat kota yang kemudian memutuskan alokasi anggaran.
Partisipasi berjalan secara inklusif, seluruh warga terlibat tanpa adanya
diskriminasi termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. [1]
Konsepsi lain kewarganegaraan dijelaskan oleh Will
Kymlica. Kymlica melihat adanya gerakan sosial dan politik sebagai ekspresi
identitas dan budaya dalam negara seperti gerakan kelompok etnis Chechen di
Rusia, gerakan masyarakat etnis di Balkan, serta gerakan keturunan Perancis di
Quebec Kanada. Konsepsi ini sulit dijelasakan jika menggunakan konsepsi
kewarganegaraan yang lama. Menurut Kymlica seorang individu mempunyai otonomi,
namun juga merupakan bagian dari kelompoknya. Maka di negara multikultur,
seorang warga negara selain seorang individu juga merupakan anggota kelompok
budaya tertentu. Untuk itu penting bagi negara untuk memperdulikan dua macam
hak asasi manusia, pertama, hak asasi universal yang dikenakan setiap individu
tanpa membedakan kelompok budaya individu berasal; dan kedua hak asasi yang
dilengkapi dengan hak-hak kelompok yangberbeda atau status khusus bagi budaya
minoritas. Beberapa hak-hak yang diberikan kepada minoritas antara lain;
hak-hak pemerintahan sendiri, berupa pemberian kekuasaan pada kelompok
minoritas, terkadang dalam bentuk federalisme; kedua, dukungan keuangan dan
perlindungan bagi kelompok etnis dan keagamaan tertentu; serta ketiga, jaminan
kursi etnis atau bangsa dalam institusi negara.
Sementara ini di Indonesia, tingkat diskriminasi
terhadap kelompok minoritas terus terjadi, termasuk terhadap kelompok
Ahmadiyah. Ahmadiyah dianggap kelompok minoritas, karena telah menodai keyakinan
yang telah dipegang oleh Islam mayoritas, untuk itu Ahmadiyah dibubarkan
pemerintah dan anggotanya harus bertaubat, selain itu Ahmadiyah dianggap
mengganggu keamanan dan kestabilan masyarakat, oleh karena itu mereka dipaksa
meninggalkan kampung halamannya. Kasus diskriminasi terhadap menunjukkan
pemerintah belum mengadopsi prinsip multikulturalisme dalam kebijakannya.
Ahmadiyah meski minoritas harus tetap mendapatkan hak dan kewajiban yang sama
sebagai warga negara sekaligu hak kolektifnya sebagai suatu identitas kultural.
[2]
Konsepsi selanjutnya mengenai kewarganegaraan yaitu
kewarganegaraan global-kosmopolitan. Konsepsi ini melihat pada era globalisasi,
sifat kekuasaan negara dan kondisi warga negara telah berubah. Pasar modal
global dan internasionalisasi hubungan produksi telah membatasi kapasitas
negara menentuka kebijakan ekonomi nasional secara otonom. Sebagai contoh,
kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan harga bahan bakar
minyak pada tahun 2005. Kebijakan ini tidak diputuskan oleh Yudhoyono semata
karena kekurangan bahan bakar minyak tetapi kondisi internasional yaitu
kenaikan harga minyak dunia yang memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan
harga minyak. Hal penting dari konsepsi ini adalah bata-batas negara dan
kesetiaan atau loyalitas pada negara nasional tidak penting lagi.
Kewarganegaraan global merupakan upaya membuat kewarganegaran bersifat
universal dengna mengekstensi hak-hak ke dalam hubungan internasional dan
mengakui hak-hak kelompok khusus.
[1] Kadek Dwita Apriani, “Respon Publik Terhadap Model Penganggaran
Partisipatif dalam Pembangunan Desa: Studi Tiga Provinsi di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian Politik, Volume 13,
No. 2, Desember 2016, hlm. 138.
[2] Ilham Mudzir, “Negara, Hak-hak Minoritas, dan Multikulturalisme (Kasus
Ahmadiyah” dalam Jurnal Indo-Islamika,
Volume 1, Nomor 2, 2012/1433, hlm. 184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar