Selasa, 23 Mei 2017

Nasionalisme dan Politik Identitas


 Kewarganegaraan republik dapat dilihat dari kerangka praksis. Kewarganegaraan republik melihat keterlibatan dan partisipasi aktif warga masyarakat dalam negara. Keterlibatan warga secara aktif membentuk perkembangan masa depan. Partisipasi masyarakat dalam bidang politik, sosial, budaya, ekonommi dimana warga menjadi anggotanya. Contoh yang terjadi di masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam membangun dan memelihara sumber air bersih, membersihkan saluran air. Partisipasi aktif dari warga negara sebelumnya pernah dikemukakakan oleh Aristoteles. Aristoteles menyebut masyarakat menerapkan demokrasi langsung, dengan memenuhi antara lain besaran populasi yang ideal berjumlah sekitar 40.000 orang serta penduduk mengenal satu lainnya dan muncul keakraban diantara mereka sehingga membentuk persaudaraan antara warga.
Salah satu model partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang kerap menjadi contoh adalah participatory budgeting di Porto Alegre, Brazil. Pasca tahun 1980-an di Brazil, terjadi desntralisasi kekuasaan, sehignga pemerintah daerah/lokal memiliki kewenangan dalam mengatur dan megnalokasikan anggaran dan kebijakan yang harus mereka bentuk. Menurut Arnstein (1971), model yang berkembang di Porto Alegre, mencapai tahapan citizen control. Proses penganggaran dilakukan berjenjang mulai dari tingkat lingkungan, komite, komite khusus, hingga delegasi tingkat kota yang kemudian memutuskan alokasi anggaran. Partisipasi berjalan secara inklusif, seluruh warga terlibat tanpa adanya diskriminasi termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. [1]
Konsepsi lain kewarganegaraan dijelaskan oleh Will Kymlica. Kymlica melihat adanya gerakan sosial dan politik sebagai ekspresi identitas dan budaya dalam negara seperti gerakan kelompok etnis Chechen di Rusia, gerakan masyarakat etnis di Balkan, serta gerakan keturunan Perancis di Quebec Kanada. Konsepsi ini sulit dijelasakan jika menggunakan konsepsi kewarganegaraan yang lama. Menurut Kymlica seorang individu mempunyai otonomi, namun juga merupakan bagian dari kelompoknya. Maka di negara multikultur, seorang warga negara selain seorang individu juga merupakan anggota kelompok budaya tertentu. Untuk itu penting bagi negara untuk memperdulikan dua macam hak asasi manusia, pertama, hak asasi universal yang dikenakan setiap individu tanpa membedakan kelompok budaya individu berasal; dan kedua hak asasi yang dilengkapi dengan hak-hak kelompok yangberbeda atau status khusus bagi budaya minoritas. Beberapa hak-hak yang diberikan kepada minoritas antara lain; hak-hak pemerintahan sendiri, berupa pemberian kekuasaan pada kelompok minoritas, terkadang dalam bentuk federalisme; kedua, dukungan keuangan dan perlindungan bagi kelompok etnis dan keagamaan tertentu; serta ketiga, jaminan kursi etnis atau bangsa dalam institusi negara.
Sementara ini di Indonesia, tingkat diskriminasi terhadap kelompok minoritas terus terjadi, termasuk terhadap kelompok Ahmadiyah. Ahmadiyah dianggap kelompok minoritas, karena telah menodai keyakinan yang telah dipegang oleh Islam mayoritas, untuk itu Ahmadiyah dibubarkan pemerintah dan anggotanya harus bertaubat, selain itu Ahmadiyah dianggap mengganggu keamanan dan kestabilan masyarakat, oleh karena itu mereka dipaksa meninggalkan kampung halamannya. Kasus diskriminasi terhadap menunjukkan pemerintah belum mengadopsi prinsip multikulturalisme dalam kebijakannya. Ahmadiyah meski minoritas harus tetap mendapatkan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara sekaligu hak kolektifnya sebagai suatu identitas kultural. [2]
Konsepsi selanjutnya mengenai kewarganegaraan yaitu kewarganegaraan global-kosmopolitan. Konsepsi ini melihat pada era globalisasi, sifat kekuasaan negara dan kondisi warga negara telah berubah. Pasar modal global dan internasionalisasi hubungan produksi telah membatasi kapasitas negara menentuka kebijakan ekonomi nasional secara otonom. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Kebijakan ini tidak diputuskan oleh Yudhoyono semata karena kekurangan bahan bakar minyak tetapi kondisi internasional yaitu kenaikan harga minyak dunia yang memaksa pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga minyak. Hal penting dari konsepsi ini adalah bata-batas negara dan kesetiaan atau loyalitas pada negara nasional tidak penting lagi. Kewarganegaraan global merupakan upaya membuat kewarganegaran bersifat universal dengna mengekstensi hak-hak ke dalam hubungan internasional dan mengakui hak-hak kelompok khusus.



[1] Kadek Dwita Apriani, “Respon Publik Terhadap Model Penganggaran Partisipatif dalam Pembangunan Desa: Studi Tiga Provinsi di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian Politik, Volume 13, No. 2, Desember 2016, hlm. 138.
[2] Ilham Mudzir, “Negara, Hak-hak Minoritas, dan Multikulturalisme (Kasus Ahmadiyah” dalam Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012/1433, hlm. 184. 

Tidak ada komentar: