Jumat, 13 Juni 2014

Sang Pengembara Mencari Tuhan

Judul Buku : Jejak Tuhan

Penulis : Yan Zavin Aundjand
Penerbit : Diamond Yogyakarta
Tahun Terbit : 2012 
 Tebal : 226 halaman    
Sekelompok mahasiswa yang ingin menemukan kebenaran dan bertemu dengan Tuhan, dengan usahanya dalam berkomunitas yang mereka bikin. Ada banyak cara yang mereka lakukan, yaitu dari diskusi, konsultasi, membaca buku-buku agama dan filsafat, sampai pada titik yang paling banal pun mereka silami untuk dapat tenggelam dalam diri Tuhan itu. Setelah sekian lama berdiam, menyepi, menyendiri. Ruangan kamar berantakan dengan buku-buku. Ia semakin tak yakin dengan posisinya sendiri dalam beragama. Entah. Ia ingin mencari sesuatu yang entah tak pernah dipelajari dalam agamanya sendiri atau menutup kebenaran agama yang sama sekali ia ragukan keberadaannya. 
Waktu menghendaki ruang kosong. Kembali kepada kekosongan. Memulai menghitung dari titik nol dalam mempertanyakan sebuah wujud dari tiada. Jiwa-jiwa yang rindu akan ruang yang tak terbatas itu. Menjadikan sesuatu dalam pemikiran yang dapat diterima dalam ruang kosong. Menyatu jadi lebur. Lebur dan lebur. Sampai kembali kepada titik nol sebagai angka keabadian dari jejak yang asing dan terasing, meski air mata menjdi tumbal kebencian dan kekuasaan. 
Malam itu, mereka bersepakat mencari Tuhan lewat selangkangan perempuan, sebab mereka meyakini bahwa di selangkangan itulah jalan menuju Tuhan, kembali ke pembahasan awal mereka tempo dulu saat membikin forum pembukaan Komunitasnya, Majlis KAFI. Dengan yakin, di sanalah sumber segala sesuatu dan perkembangan manusia mulai dikeluarkan. Hari-hari tak lagi memuaskan dalam pencehariannya. Ada banyak hal yang telah mereka lakukan, tidak hanya lewat perdebatan, tapi dengan cara mencari hal-hal yang unik dan ajaib, yang dianggap memiliki kekuatan yang tak pernah mereka miliki sebelumnya, dan mereka ketahui sebelumnya. Semua itu dianggap sebagai jalan menuju Tuhan. 
Hal-hal baru yang tak pernah mereka ketahui itu membuat mereka mengabaikan hal-hal lama yang sudah mereka yakini (dipakai). Persoalan sebelumnya akan menjadi hilang begitu saja, seperti orang mencampakkan sesuatu tanpa ada beban dan rasa kasihan sedikit pun pada yang ditinggalkan. Yang terpenting, mereka terus berproses, memfungsikan otak yang masih sehat dan terus mencari hal-hal baru sebagai ajang dan bahan dalam diskusi mereka setiap hari. “Tidak sembarang orang akan memiliki benda seperti ini,” ucap Hijriyan kepada yang lain. 
Mereka tersenyum terkagum-kagum sambil membolak-balik cincin dan batu yang baru saja mereka peroleh dari salah seorang dukun yang mereka temui di salah satu rumah dekat kontrakkannya. Tapi, menjadi berbeda pemahamannya kemudian. Benda itu dijadikan salah satu alat untuk mengantarkan mereka menuju Tuhan. Kekuatan itulah kekuatan Tuhan yang diletakkan pada benda. Tidak hanya wacana yang dikenal pada diri orang-orang Majlis KAFI itu, akan tetapi kegilaan mereka juga tidak lepas sebagai ciri khas mereka di mana-mana. 
Mereka tidak pernah menghiraukan hal baik atau buruk, apa pun yang orang lain bicarakan tentang mereka juga tidak menghiraukan. Mereka terus berjalan sesuai dengan keinginannya, bahkan mereka senang sekali ketika orang banyak membicarakan mereka. Mereka semakin bangga diri, semakin besar diri ketika berbicara di tempat-tempat umum. Mereka terus berjalan di atas kegamangan dan kejujuran dalam kebodohan. Meniti cinta di atas cinta—di sana perempuan berlari-lari, mengucapkan kalimat gengsi, karena mereka tak pernah tahu pada diri; diri yang tak pernah tahu mandi, menjijikkan, bau. Ah, perempuan yang mana yang mau dilihat kemaluannya sama orang lain. Dari perbuatan mereka yang senonoh itu. Hampir semua perempuan di kampus merasa takut dan terganggu saat ada mereka. Perempuan sudah banyak menganggap mereka sudah gila, sinting, miring, atau paling tidak mereka sudah kesurupan. 
Namun, mereka akhirnya sepakat memilih mengunjungi tempat yang hanya dihuni perempuan saja di kawasan dekat Stasiun, melakukan acak-acakan dimensi dalam ruang. Dengan rasa ingin tahu untuk segera bertemu Tuhan di sana. Mereka terus berlarian ke arah gang, sambil berucap, “aku datang untukmu, tuhan.” Setelah mereka sampai di sebuah keramaian itu. Tubuh tersengat bau-bau wewangian yang tertebar di seluruh gang dan ruangan. Tangan-tangan nakal perempuan menarik-narik baju mereka yang masih berjalan ke arah mata yang masih saja bingung, kenapa dan yang mana untuk mereka temui di antara salah satu perempuan-perempuan yang ada. Semuanya terlihat cemerlang dan terlalu indah semenjak mereka temui. “Mas…” kata salah satu perempuan sambil menarik tangan Hijriyan. “Di sini aja, Mas,” yang satunya mencubit pipi Naen yang kelihatan imut. Membuat perempuan bikin gemes melihatnya. 
Sementara Jhoni, terlihat sudah mengadakan bincang-bincang dengan perempuan di bagian pojok gang ke tiga dari arah selatan. Mereka seakan tak tahu harus berbuat apa, apa yang mereka niatkan dari awal lepas dari angan-angannya. Kosong. Hanya bau harum wewangi yang membuat pikiran mereka melayang-layang. Tubuh gemetar, seperti orang ber-amarah ketika mau menghadapi perang. Lalu mereka memasuki ruangan remang masing-masing perempuannya. Pintu ditutup. Suara-suara seruling mengantarkan mereka pada bau kasur dan guling di ranjang. Bau-bau harum anggur nyengat hidungnya melayang-layang. Tergapai seluruh ruangan menjadi cerita malam. 
Di gang dekat Stasiun itu, mereka masih belum kelihatan keluar dan beranjak dari tempat semula. Mereka bertiga kelihatan bingung dan saling bingung. Kepala merunduk. Mata melirik. Hijriyan mengeluarkan air mata pelan. Kakinya diluruskan ke depan dalam posisi duduk. Tangannya diletakkan di atas lututnya, sambil memupuk-mupuk lututnya. “Ada apa, Yan? Kamu nangis? Kenapa mukamu jadi sedih, gitu?” tanya Naen, melihat Hijriyan yang tiba-tiba jadi lemas. “Ibu…ku.. me..ninggal,” jawabnya sedih tergopoh-gopoh. Air matanya semakin bercucuran deras. 
Aneh, orang-orang pada melihatnya, ada cowok jantan menangis di tengah-tengah keramaian malam. Hijriyan jadi bahan tontonan banyak perempuan. “Saya ikut sedih, Kawan. Saya ikut berduka cita. Sudahlah. Ayo, kita bareng-bareng ke sana. Kita pulang sekarang,” kata Naen, juga ikut-ikutan sedih. Hijriyan mengangguk. Lalu, mereka langsung bergagas pulang dari gang itu. 
Sesampainya di kontrakan, mereka langsung beres-beres pakaiannya, persiapan untuk pulang. Sesampainya, melihat tanah merah yang masih basah. Hijriyan tiba-tiba lepas dari genggaman Setiyani, adik kandungnya, dan melompat di atas makam ibunya. Dipeluknya batu nisan. Diciumnya berulang kali. Tak ingat apa-apa. Tangan mengelus-ngelus di gundukan tanah mereh itu. Lama, suasana menjadi sunyi. Mereka kaget dan tertegun menatap Hijriyan. Pipinya menempel di ujung nisan. Tak ada suara apa-apa lagi yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba senja di ufuk barat menyeret air mata mereka masing masing. Terlihat pak Herwanto, ayah Hijriyan, dan Setiyani pingsan ketika sampai di pemakaman itu. 
Ada apa dengan diri mereka? Naen dan Jhoni kebingungan mau berbuat apa dan bagaimana dengan keadaan mereka yang tiba-tiba tergeletak pingsan di depan Hijriyan. Senja melepas dirinya pada malam. Malam semakin gelap. Mereka kehilangan arah di tengah-tengan pemakaman itu. Tak ada jalan. Mereka bingung mau membawa mereka pulang ke rumahnya. 
Ah, mereka sedikit takut dengan suasana petang itu, apalagi melihat mereka yang lain tergeletak pas di depan mata. Mereka berusaha menyadarkan mereka yang pingsan. Dipijatnya urat-urat yang dianggap membuat mereka sadar. Namun, juga tidak ada hasil. Lama mereka menunggu sadar mereka. Angin mengelus-ngelus tubuh mereka yang merinding ketakutan, kalau-kalau ada hantu dan pocong tiba-tiba bangun dari salah satu kuburan yang ada si situ. Mereka terus merasakan kekhawatiran dan takut. Hampir satu jam mereka menunggu mereka sadar dari tidurnya. 
Mereka temui malam tanpa bulan. Bintang-bintang terselimuti awan. Kabut-kabut melempar diri pada embun meneteskan air mata. Keadaan sunyi, sesunyi mereka menatap nisan-nisan itu berbaris-baris, hanya suara-suara tangis pak Herwanto dan Setiyani menggopoh-gopoh memeluk Hijriyan. Hijriyan tersungkur bersujud ke gundukan tanah ibunya. Al-Qur’an terbuka tetap dipegangi erat di tangannya. Naen dan Jhoni sendiri belum tahu apa yang terjadi sebenarnya di antara mereka itu. Dari tadi mereka hanya kaget dan takut. Tidak ada pikiran yang terlintas melihat keadaan mereka, sampai mereka itu terbangun. Lebih dikagetkan lagi ketika mereka menangis memeluk Hijriyan. Tak ada sapa dan tawa, semua menangis.[ ] 

Tidak ada komentar: