Perempuan dan Pembangunan
Diskriminasi
dan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki merupakan beberapa isu utama yang
coba dijelaskan oleh teori feminisme. Perkembangan dunia sejak tahun 1930-an
hingga globalisasi saat ini turut mengubah perspektif feminisme dari masa ke
masa. Perspektif feminisme awal atau kita sebut dengan feminisme liberal,
begitu kental dengan pengaruh teori modernisasi. Sehingga Jane L. Parpart menyebut usaha yang dilakukan oleh feminisme liberal
adalah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam pembangunan (Women
in Development), misalnya melalui lembaga bantuan donor United States Agency
for Intenational Development (USAID) sehingga perempuan dapat terintegrasi pada
ekonomi di negaranya masing-masing. Namun permasalahan utama perempuan yaitu
kebijakan pembangunan yang bias gender serta adanya diskriminasi terhadap
perempuan, belum dapat diatasi melalui perspektif ini, khususnya dalam upaya
melakukan perubahan transformatif di masyarakat.
Perspektif yang berkembang selanjutnya adalah Woman
and Development (WAD). WAD memandang
bahwa kontribusi perempuan dalam pembangunan sering termarjinalisasi oleh
kebijakan nasional dan internasional. Usaha yang dilakukan oleh kelompok ini
adalah membuat kampanye perubahan kebijakan dan menempatkan isu perempuan pada
agenda nasional dan internasional. Program diseminasi mengenai marjinalisasi
perempuan dalam kebijakan menjadi agenda utama perspektif ini. Mereka memandang
birokrasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan, dan meningkatkan
keterikatan perempuan, baik melalui kelompok otonomi maupun jaringan luas.
Namun sekali lagi, WAD tidak mampu menjelaskan jika perempuan merupakan suatu
kelompok kelas yang termarjinalisasi.
Perspektif
selanjutnya adalah Gender and Development yang berkembang pada tahun 1980-an.
GAD merupakan perspektif yang memandang status perempuan sangat tergantung dari
kondisi material individu pada level nasional, masyarakat, dan rumah tangga.
Selain itu, kondisi material perempuan, diatur oleh norma-norma yang telah
disepakati, yang menjelaskan mengenai peran dan tugas perempuan serta laki-laki
dalam masyarakat. Fokus perspektif ini bukan saja perempuan tetapi juga
laki-laki, karena subordinasi terjadi karena hubungan laki-laki dengan
perempuan.
Beberapa
konsep kemudian muncul pada awal tahun 1990-an ketika semakin berkembangnya
globalisasi. Globalisasi dianggap memunculkan masalah baru bagi perempuan.
Perpektif yang muncul tidak lagi cukup dalam menjelaskan posisi perempuan. Beberapa
perspektif masih bisa digunakan dalam membahas posisi perempuan diantaranya
feminisme radikal, feminisme sosialisme, dan femnisme hitam.
Feminisme
radikal mulai muncul diawal tahun 1960-an di Amerika Serikat sebagai respon
sexism yang dialami oleh perempuan bekerja dalam rangka pergerakan hak-hak
sipil dan anti peperangan. Banyak dari aktivis ini terinspirasi teori Marxist
yang juga dianggap seksis. Marxisme tradisional menyebutkan bahwa kelas
merupakan faktor utama penekan kelas pekerja dan keseteraaan gender baru akan
terjadi jika terjadi penghapusan kelas di masyarakat. Kelompok feminis radikal
juga menganggap bahwa pendapat jika kesetaraan gender dianakduakan dibandingkan
kesetaraan kelas dengan menghilangkan peran perempuan.
Feminis
radikal juga beranggapan bahwa subordinasi perempuan, tidak selalu bergantung
dari bentuk-bentuk dominasi, seperti kelas. Mereka berpendapat jika patriarki,
atau dominasi terhadap perempuan oleh laki-laki, menjadi faktor utama.
Subordinasi perempuan terjadi di dalam kehidupan individu dan praktek sosial,
hal ini lebih sulit diubah dibandingkan dengan kelas.
Dalam
tulisannya “The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution”, Shulamith
FireStone berpendapat bahwa subordinasi perempuan mengakar secara biologis atau
disebut fisiologi reproduktif. Stone menyebutkan hanya dengan teknologi yang
maju, seperti “bayi test-tube” seorang perempuan akan mencapai kesetaraan dan
tidak akan lagi bergantung pada perempuan.
Pendapat
lain disampaikan oleh feminis radikal lainnya yang memandang perempuan secara
biologis lebih superior daripada perempuan karena kemampuannya dalam
melahirkan. Banyak feminis radikal berpendapat bahwa subordinasi perempuan
berakar dalam kontrol laki-dalam memandang kesuburan dan seksualitas perempuan,
melebihi tubuh perempuan.
Feminis
radikal juga memperhatikan isu seksualitas. Mereka memandang bahwa isu-isu
pribadi merupakan isu yang politik dan
secara fundamental diatur oleh kekuatan laki-laki. Pembagian isu-isu yang
sifatnya pribadi merupakan usaha laki-laki untuk melemahkan kekuatan perempuan.
Feminis radikal merupakan kelompok yang mendeklarasikan bahwa “the personal is
political”.
Dalam
kehidupan sehari-hari feminis radikal berusaha menciptakan berbagai institusi
sosial alternatif agar perempuan dapat mencukupi kebutuhannya, seperti pendirian
pusat kesehatan perempuan, pendidikan perempuan, pusat bisnis perempuan, dan
bantuan bagi perempuan dalam kondisi krisis. Feminis radikal juga memfokuskan
pada hak-hak perempuan seperti motherhood, aborsi, dan orientasi sosial.
Kelompok feminis radikal memandang aktivis sosial harus melawan subordinasi
perempuan dan mengusahakan perubahan masyarakat untuk menghancurkan patriarki
dan mencapai kesetaraan perempuan.
Pandangan
feminisme selanjutnya muncul tahun 1970-an, dimana beberapa feminis tidak puas
dengan pandangan Marxisme tradisional, yang memandang subordinasi perempuan
merupakan kelas kedua dibandingkan subordinasi kelas. Mereka juga merasa tidak
nyaman dengan feminisme radikal, yang tidak memperdulikan kelas dan memandang
patriarki sebagai bentuk utama subordinasi. Feminis sosialis memandang bahwa
kelas dan subordinasi perempuan merupakan isu yang setara dan harus dihadapi
secara simultan.
Dalam
membangun teori dan praktes untuk mencapai permasalahan ini, feminis sosialis
menggunakan metode Marxisme hisotris dialektika. Tujuan mereka adalah untuk
merevisi Marxisme dengan menggabungkan dengan penadangan feminis radikal. Feminis
sosialis mendefisinikan ulang konsepsi patriarki sebagai suatu hubungan
hierarki dnengan dasar material dimana laki-laki mengontrol seksualitas dan
kekuatan tenaga kerja perempuan. Mereka menambahkan dimensi historis bagi
konsep patriarki, dengan berpendapat bahwa berbagai bentuk patriarki terjadi
pada periode sejarah yang berbeda dan kondisi berbeda terjadi pada berbagai
ras, budaya, politik, ekonomi, dan konteks agama. Feminis sosialis juga
perhatian terhadap hubungan reproduksi dan produksi yang didominasi oleh
laki-laki kapitalis.
Juliet
Mitchell dalam “Women the Longest Revolution” berargumen setidaknya terdapat
empat struktur kunci yang menyebabkan subordinasi perempuan, yaitu produksi,
reproduksi, seksualitas dan pengasuhan anak. Untuk memahami subordinasi
perempuan, Mitchell memandang perlu pemahaman tidak hanya kebutuhan akan makanan,
pakaian, dan tempat tinggal tetapi juga melihat kebutuhan seksualitas,
anak-anak dan emosi perempuan. Pada perkembangannya, feminis sosialis juga
menambahkan isu lain seperti ras, etnisitas, agama, dan preferensi seksual,
serta kolonialisme dan imperialisme.
Kate
Young dan beberapa feminis sosial lainnya pada akhir 1980-an memandang dalam
mengalisa situasi perempuan, dapat melihat pada tiga hal yaitu pertama, pada
psikososial yang fokus pada didapatkannya identitas maskulinitas dan feminitas;
kedua, sosial-biologi yang fokus tidak hanya faktor biologis tetapi juga
perbedaan perempuan dan laki-laki menyebabkan peningkatan nilai laki-laki; dan
ketiga, sosiopolitical yang fokus pada subjektivitas atau bagaimana perasaan
orang-orang mengenai diri mereka sebagai anggota ras atau kelas tertentu, dan
bagaimana gender berkontribusi pada membentuk sistem politik dan ekonomi.
Feminis
sosialis memperhatikan mempromosikan kebijakan untuk mengeliminasi segregasi
gender dalam lingkup domestik dan penggajian tenaga kerja, mengeliminasi
kekerasan di tempat kerja, kesetaraan pendapatan, peningkatan kontrol perempuan
dan kondisi kerja, mentransformasi kondisi dimana perempuan dapat memilih
reproduksi, dan meningkatkan tanggungjawab masyarakat terhadap pengasuhan anak.
Pandangan
feminis selanjutnya adalah feminisme hitam (black feminism). Sejarawan diaspora
Afrika selama ini menandang jika perempuan berkulit hitam memiliki pengalaman
tersendiri menghadapi dunia baru dan Eropa. Perempuan berkulit hitam menghadapi
berbagai permasalahan diantaranya menjadi perempuan dan berkulit hitam. Mayoritas dari mereka
mengalami kehidupan ekonomi yang keras. Hingga saat ini, akademisi feminis baik
dari Amerika Utara dan Eropa sering tidak memperdulikan pengalaman perempuan
berkulit hitam. Mereka lebih banyak memandang pada pengalaman permepuan
berkulit putih, khususnya kelas menengah. Feminis berkulit hitam mengkritisi
akademisi kulit putih selalu menandang dari sejarah dan budaya mereka dan
melupakan dampak asimetris hubungan ras dalam melihat pengalaman dab hubungan
gender.
Feminis dari komunitas berkulit
hitam, mendapatkan penjelasan alternatif bagi kondisi perempuan berkulit hitam
dalam sejarah mereka. Akademisi feminis hitam, memandang perempuan berkulit
hitam, menghadapi permasalahan tidak saja ras, tetapi juga kelas dan gender.
Akademisi feminis hitam menciptakan agenda politik, yaitu black feminist
manifesto yang memandang feminis politik harus anti-rasis dan anti-seksis.
Manifesto berpendapat perlunya perjuangan bersama perempuan berkulit putih
menghadapi seksism, baik yang dilakukan oleh perempuan berkulit hitam maupun
laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar