Selasa, 23 Mei 2017

Perempuan dan Pembangunan

Diskriminasi dan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki merupakan beberapa isu utama yang coba dijelaskan oleh teori feminisme. Perkembangan dunia sejak tahun 1930-an hingga globalisasi saat ini turut mengubah perspektif feminisme dari masa ke masa. Perspektif feminisme awal atau kita sebut dengan feminisme liberal, begitu kental dengan pengaruh teori modernisasi. Sehingga Jane L. Parpart menyebut usaha yang dilakukan oleh feminisme liberal adalah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam pembangunan (Women in Development), misalnya melalui lembaga bantuan donor United States Agency for Intenational Development (USAID) sehingga perempuan dapat terintegrasi pada ekonomi di negaranya masing-masing. Namun permasalahan utama perempuan yaitu kebijakan pembangunan yang bias gender serta adanya diskriminasi terhadap perempuan, belum dapat diatasi melalui perspektif ini, khususnya dalam upaya melakukan perubahan transformatif di masyarakat.
Perspektif yang berkembang selanjutnya adalah Woman and Development (WAD). WAD memandang bahwa kontribusi perempuan dalam pembangunan sering termarjinalisasi oleh kebijakan nasional dan internasional. Usaha yang dilakukan oleh kelompok ini adalah membuat kampanye perubahan kebijakan dan menempatkan isu perempuan pada agenda nasional dan internasional. Program diseminasi mengenai marjinalisasi perempuan dalam kebijakan menjadi agenda utama perspektif ini. Mereka memandang birokrasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan, dan meningkatkan keterikatan perempuan, baik melalui kelompok otonomi maupun jaringan luas. Namun sekali lagi, WAD tidak mampu menjelaskan jika perempuan merupakan suatu kelompok kelas yang termarjinalisasi.
Perspektif selanjutnya adalah Gender and Development yang berkembang pada tahun 1980-an. GAD merupakan perspektif yang memandang status perempuan sangat tergantung dari kondisi material individu pada level nasional, masyarakat, dan rumah tangga. Selain itu, kondisi material perempuan, diatur oleh norma-norma yang telah disepakati, yang menjelaskan mengenai peran dan tugas perempuan serta laki-laki dalam masyarakat. Fokus perspektif ini bukan saja perempuan tetapi juga laki-laki, karena subordinasi terjadi karena hubungan laki-laki dengan perempuan.
Beberapa konsep kemudian muncul pada awal tahun 1990-an ketika semakin berkembangnya globalisasi. Globalisasi dianggap memunculkan masalah baru bagi perempuan. Perpektif yang muncul tidak lagi cukup dalam menjelaskan posisi perempuan. Beberapa perspektif masih bisa digunakan dalam membahas posisi perempuan diantaranya feminisme radikal, feminisme sosialisme, dan femnisme hitam.
Feminisme radikal mulai muncul diawal tahun 1960-an di Amerika Serikat sebagai respon sexism yang dialami oleh perempuan bekerja dalam rangka pergerakan hak-hak sipil dan anti peperangan. Banyak dari aktivis ini terinspirasi teori Marxist yang juga dianggap seksis. Marxisme tradisional menyebutkan bahwa kelas merupakan faktor utama penekan kelas pekerja dan keseteraaan gender baru akan terjadi jika terjadi penghapusan kelas di masyarakat. Kelompok feminis radikal juga menganggap bahwa pendapat jika kesetaraan gender dianakduakan dibandingkan kesetaraan kelas dengan menghilangkan peran perempuan.
Feminis radikal juga beranggapan bahwa subordinasi perempuan, tidak selalu bergantung dari bentuk-bentuk dominasi, seperti kelas. Mereka berpendapat jika patriarki, atau dominasi terhadap perempuan oleh laki-laki, menjadi faktor utama. Subordinasi perempuan terjadi di dalam kehidupan individu dan praktek sosial, hal ini lebih sulit diubah dibandingkan dengan kelas.
Dalam tulisannya “The Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution”, Shulamith FireStone berpendapat bahwa subordinasi perempuan mengakar secara biologis atau disebut fisiologi reproduktif. Stone menyebutkan hanya dengan teknologi yang maju, seperti “bayi test-tube” seorang perempuan akan mencapai kesetaraan dan tidak akan lagi bergantung pada perempuan.
Pendapat lain disampaikan oleh feminis radikal lainnya yang memandang perempuan secara biologis lebih superior daripada perempuan karena kemampuannya dalam melahirkan. Banyak feminis radikal berpendapat bahwa subordinasi perempuan berakar dalam kontrol laki-dalam memandang kesuburan dan seksualitas perempuan, melebihi tubuh perempuan.
Feminis radikal juga memperhatikan isu seksualitas. Mereka memandang bahwa isu-isu pribadi merupakan  isu yang politik dan secara fundamental diatur oleh kekuatan laki-laki. Pembagian isu-isu yang sifatnya pribadi merupakan usaha laki-laki untuk melemahkan kekuatan perempuan. Feminis radikal merupakan kelompok yang mendeklarasikan bahwa “the personal is political”.
Dalam kehidupan sehari-hari feminis radikal berusaha menciptakan berbagai institusi sosial alternatif agar perempuan dapat mencukupi kebutuhannya, seperti pendirian pusat kesehatan perempuan, pendidikan perempuan, pusat bisnis perempuan, dan bantuan bagi perempuan dalam kondisi krisis. Feminis radikal juga memfokuskan pada hak-hak perempuan seperti motherhood, aborsi, dan orientasi sosial. Kelompok feminis radikal memandang aktivis sosial harus melawan subordinasi perempuan dan mengusahakan perubahan masyarakat untuk menghancurkan patriarki dan mencapai kesetaraan perempuan.
Pandangan feminisme selanjutnya muncul tahun 1970-an, dimana beberapa feminis tidak puas dengan pandangan Marxisme tradisional, yang memandang subordinasi perempuan merupakan kelas kedua dibandingkan subordinasi kelas. Mereka juga merasa tidak nyaman dengan feminisme radikal, yang tidak memperdulikan kelas dan memandang patriarki sebagai bentuk utama subordinasi. Feminis sosialis memandang bahwa kelas dan subordinasi perempuan merupakan isu yang setara dan harus dihadapi secara simultan.
Dalam membangun teori dan praktes untuk mencapai permasalahan ini, feminis sosialis menggunakan metode Marxisme hisotris dialektika. Tujuan mereka adalah untuk merevisi Marxisme dengan menggabungkan dengan penadangan feminis radikal. Feminis sosialis mendefisinikan ulang konsepsi patriarki sebagai suatu hubungan hierarki dnengan dasar material dimana laki-laki mengontrol seksualitas dan kekuatan tenaga kerja perempuan. Mereka menambahkan dimensi historis bagi konsep patriarki, dengan berpendapat bahwa berbagai bentuk patriarki terjadi pada periode sejarah yang berbeda dan kondisi berbeda terjadi pada berbagai ras, budaya, politik, ekonomi, dan konteks agama. Feminis sosialis juga perhatian terhadap hubungan reproduksi dan produksi yang didominasi oleh laki-laki kapitalis.
Juliet Mitchell dalam “Women the Longest Revolution” berargumen setidaknya terdapat empat struktur kunci yang menyebabkan subordinasi perempuan, yaitu produksi, reproduksi, seksualitas dan pengasuhan anak. Untuk memahami subordinasi perempuan, Mitchell memandang perlu pemahaman tidak hanya kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal tetapi juga melihat kebutuhan seksualitas, anak-anak dan emosi perempuan. Pada perkembangannya, feminis sosialis juga menambahkan isu lain seperti ras, etnisitas, agama, dan preferensi seksual, serta kolonialisme dan imperialisme.
Kate Young dan beberapa feminis sosial lainnya pada akhir 1980-an memandang dalam mengalisa situasi perempuan, dapat melihat pada tiga hal yaitu pertama, pada psikososial yang fokus pada didapatkannya identitas maskulinitas dan feminitas; kedua, sosial-biologi yang fokus tidak hanya faktor biologis tetapi juga perbedaan perempuan dan laki-laki menyebabkan peningkatan nilai laki-laki; dan ketiga, sosiopolitical yang fokus pada subjektivitas atau bagaimana perasaan orang-orang mengenai diri mereka sebagai anggota ras atau kelas tertentu, dan bagaimana gender berkontribusi pada membentuk sistem politik dan ekonomi.
Feminis sosialis memperhatikan mempromosikan kebijakan untuk mengeliminasi segregasi gender dalam lingkup domestik dan penggajian tenaga kerja, mengeliminasi kekerasan di tempat kerja, kesetaraan pendapatan, peningkatan kontrol perempuan dan kondisi kerja, mentransformasi kondisi dimana perempuan dapat memilih reproduksi, dan meningkatkan tanggungjawab masyarakat terhadap pengasuhan anak.
Pandangan feminis selanjutnya adalah feminisme hitam (black feminism). Sejarawan diaspora Afrika selama ini menandang jika perempuan berkulit hitam memiliki pengalaman tersendiri menghadapi dunia baru dan Eropa. Perempuan berkulit hitam menghadapi berbagai permasalahan diantaranya menjadi perempuan dan  berkulit hitam. Mayoritas dari mereka mengalami kehidupan ekonomi yang keras. Hingga saat ini, akademisi feminis baik dari Amerika Utara dan Eropa sering tidak memperdulikan pengalaman perempuan berkulit hitam. Mereka lebih banyak memandang pada pengalaman permepuan berkulit putih, khususnya kelas menengah. Feminis berkulit hitam mengkritisi akademisi kulit putih selalu menandang dari sejarah dan budaya mereka dan melupakan dampak asimetris hubungan ras dalam melihat pengalaman dab hubungan gender.

      Feminis dari komunitas berkulit hitam, mendapatkan penjelasan alternatif bagi kondisi perempuan berkulit hitam dalam sejarah mereka. Akademisi feminis hitam, memandang perempuan berkulit hitam, menghadapi permasalahan tidak saja ras, tetapi juga kelas dan gender. Akademisi feminis hitam menciptakan agenda politik, yaitu black feminist manifesto yang memandang feminis politik harus anti-rasis dan anti-seksis. Manifesto berpendapat perlunya perjuangan bersama perempuan berkulit putih menghadapi seksism, baik yang dilakukan oleh perempuan berkulit hitam maupun laki-laki.

Tidak ada komentar: