Selasa, 14 Juli 2009

Arah Politik Golkar Pascapilpres

Metode penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei mengindikasikan kekalahan telak pasangan Jusuf Kalla-Wiranto. Pasangan yang diusung Partai Golkar dan Partai Hanura ini tak hanya kalah dari SBY-Boediono, melainkan juga dari Megawati-Prabowo.

Mengapa dan ke mana arah politik Partai Golkar pasca-Pilpres 2009? Seperti dipublikasikan berbagai media, atas dasar penghitungan cepat tersebut pasangan JK-Wiranto hanya memperoleh sekitar 12% suara atau hanya seperempat suara SBY-Boediono (60%) dan tak sampai separuh perolehan suara Mega-Prabowo (26%).

Padahal pada pemilu legislatif, gabungan perolehan suara Partai Golkar (14,6%) dan Hanura (3,6%) lebih dari 18%. Kegagalan JK-Wiranto sebenarnya bukan sepenuhnya kegagalan sang ketua umum partai masing-masing, Golkar dan Hanura. Secara publik, JK dan Wiranto telah menunjukkan komitmen keberpihakan mereka yang cukup jelas bagi bangunan Indonesia yang lebih mandiri ke depan.

Namun tampaknya mesin politik Golkar tidak sungguh-sungguh bekerja untuk mem-back up penampilan JK-Wiranto. Hal ini terkait kontroversi pencalonan Kalla dan dukungan setengah hati elite Golkar yang lain sehingga JK-Wiranto gagal untuk sekadar mempertahankan basis konstituennya dalam pemilu legislatif.

Empat Kecenderungan

Apabila analisis sementara di atas benar, persoalan berikut yang bakal melanda Golkar adalah perbedaan sikap dan pilihan politik para elitenya dalam menghadapi pemerintahan SBY yang memenangi Pilpres 2009. Paling kurang ada empat arah kecenderungan politik Golkar pascapilpres. Pertama, sebelum Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada Oktober 2009, mungkin tidak ada perubahan sikap dan pilihan politik partai beringin.

Posisi Kalla sebagai wakil presiden meniscayakan Golkar berlaku "rendah hati" dalam menghadapi masa transisi pemerintahan SBY pascapilpres. Artinya, Golkar bersifat menunggu, apakah pada akhirnya akan ada "undangan politik" dari SBY untuk bergabung kembali ke dalam pemerintahan baru atau tidak.

Kedua, sebelum munas pada Oktober mendatang Golkar mungkin menegaskan kembali komitmennya untuk membangun koalisi besar parlemen bersama-sama dengan Hanura, PDI Perjuangan, dan Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto. Sikap dan pilihan politik seperti ini cenderung diambil apabila tidak ada indikasi bahwa SBY mengajak Golkar bergabung kembali dalam koalisi baru pascapilpres.

Ketiga, setelah munas pada Oktober 2009, Golkar bergabung kembali ke dalam pelukan politik pemerintahan SBY jika diasumsikan bahwa pada saat itu terpilih Ketua Umum Golkar yang baru sebagai pengganti Kalla. Kemungkinan seperti ini cenderung besar apabila ketua umum terpilih ternyata sebelumnya telah menjadi salah seorang menteri kabinet yang ditunjuk SBY. Keempat, setelah momentum munas, sebagaimana lazimnya watak asli Golkar, secara institusi partai beringin tetap berada di luar pemerintahan, tetapi beberapa tokohnya direkrut oleh SBY sebagai anggota kabinet baru.

Tergantung Pengganti Kalla

Oleh karena itu, salah satu faktor penting yang turut menentukan sikap dan pilihan politik Golkar pascapilpres adalah figur elite Golkar pengganti Kalla sebagai ketua umum. Artinya, arah politik Golkar dalam menghadapi pemerintahan SBY tampaknya ditentukan oleh siapa yang menjadi pengganti Kalla, apakah Aburizal Bakrie, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Surya Paloh, Agung Laksono, atau tokoh Golkar yang lain.

Apabila pengganti Kalla adalah Sri Sultan HB X ataupun Surya Paloh, ada kemungkinan Golkar memilih bersikap oposisi terhadap pemerintahan SBY. Namun jika ketua umum baru partai beringin adalah Aburizal Bakrie ataupun Agung Laksono, kemungkinan Golkar kembali ke pangkuan politik SBY bisa jadi cukup besar.

Akan tetapi kemungkinan Golkar menganut politik dua-muka, sebagaimana watak dasar partai warisan Orde Baru ini, tidak mustahil hal itu menjadi sikap dan pilihan politik partai ini. Itu berarti secara organisasi Golkar tetap berada di luar pemerintahan, tetapi secara individu beberapa elite beringin terlibat dalam kabinet SBY.

Pertarungan Menarik

Atas dasar uraian singkat di atas, tampak bahwa peristiwa politik paling menarik di tubuh Golkar pascapilpres adalah dinamika pertarungan para elite partai beringin untuk merebut jabatan ketua umum. Sebagaimana fenomena pasca-Pilpres 2004, kemungkinan besar Golkar akan memundurkan sedikit jadwal munasnya dari bulan Oktober menjadi November atau awal Desember 2009.

Strategi pengunduran jadwal munas diperlukan partai beringin agar memperoleh kesempatan melihat respons Presiden SBY terhadap Golkar dalam penyusunan kabinet baru yang akan menggantikan Kabinet Indonesia Bersatu. Apabila SBY, seperti watak personalnya yang cenderung peragu dan kompromistis, mengajak beberapa tokoh Golkar terlibat dalam kabinet baru, sikap politik Golkar mungkin menjadi kompromistis dan cenderung abu-abu.

Sebaliknya, jika kabinet baru SBY tidak melibatkan seorang pun elite partai beringin, desakan untuk beroposisi terhadap pemerintah hasil Pemilu 2009 tampaknya cukup besar. Apalagi jika yang terpilih sebagai ketua umum adalah Sri Sultan HB X ataupun Surya Paloh.

Namun saya sendiri berpendapat, ada baiknya Golkar belajar menjadi oposisi seperti dikemukakan Sri Sultan HB X. Toh, sikap dan pilihan politik sebagai oposisi tak kalah terhormat dibandingkan dengan posisi sebagai pemerintah. Persoalannya, jika Golkar terus-menerus mewariskan politik dua-muka, yang berlangsung pada akhirnya adalah investasi oportunisme politik yang tidak berujung.

Muara dari pilihan pelembagaan oportunisme semacam ini adalah semakin kerdilnya Golkar di masa depan. Pengalaman kegagalan Pilpres 2004 serta Pileg dan Pilpres 2009 semestinya menjadi pelajaran bagi segenap elite partai beringin bahwa rakyat kita semakin cerdas. Era politik perselingkuhan elite partai dengan kekuasaan secara berangsur telah berakhir bersamaan dengan terkuburnya Orde Baru.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Tidak ada komentar: