Kitab suci al-Quran adalah kitab mulia, kitab yang
dijunjung tinggi, disucikan dan dijauhkan dari kotoran, dan dihindarkan dari
berbagai jenis pelecehan. Al-Quran bukan hanya rangkaian kata yang terdiri dari
kalimat-kalimat bahasa Arab yang sesuai dengan tata bahasanya (nawu-shorraf),
namun juga memiliki nilai sastra yang maha indah. Enak dibaca, nyaman didengar,
menimbulkan rindu dankhusyu’ di hati, serta syahdu meneteskan kristal air mata.
Dalam al-Quran juga terkandung nilai-nilai hikmah yang sulit untuk dilukiskan
serta direalisasikan dengan kata-kata dan bahasa.
Maka tak heran, jika Allah Swt. menentang kaum yang
masih belum percaya akan keabsahan karya satra-Nya. Seperti yang tertera dalam
surat al-Baqarah: 23-24 dan surat al-Isra’: 88, tersebutlah seseorang yang
mengaku nabi di zaman pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq ra. mencoba untuk
menandingi nilai sastra yang ada dalam al-Quran. Dialah Musailamah Al-Kazzab,
ternyata bukan rangkaian indah yang dilahirkan, melainkan sebuah rangkaian
sastra (menurut pandangan Musailamah sendiri) yang bisa membuat hati bergetar,
yakni nilai keindahannya sederajat (bahkan dibawah darajatnya) karya anak-anak
yang tahu A, B, C, dan D saja, di mana hal itu hanya melahirkan tawa sastrawan
arab kala itu. Coba kita simak hasil karyanya di bawah ini: “Wahai katak, anak
dari dua katak, berbunyilah apa yang ingin kau bunyikan. Di atasmu air dan di
bawahmu Lumpur”. Dapat kita bandingkan dengan kalimat berikut: “wahai anak
manusia, anak dari dua manusia, kerjakan apa yang akan engkau kerjakan, di
atasmu langit dan di bawahmu tanah,” seandarnya ada di antara anak-anak yang di
bawah usia enam tahun disuruh membuat semisal hasil karya Musailamah di atas,
barangkali kita hanya memberikan alokasi waktu dua detik saja.
Allah telah menegaskan dengan riil dan rinci dalam
firman-Nya. Katakanlah; “Sesungguhnya jika jin dan manusia berkumpul untuk
berupaya membuat yang serupa al-Quran ini, maka mereka tidak akan membuat yang
serupa dengannya, walau pun sebgian dari mereka (menjadi) pembantu bagi
sebagian yang lainnya.” (QS. Bani Isra’il/17: 88).
Ayat di atas merupakan penegasan keoutentikan al-Quran
sebagai agenda besar zaman dulu, kini dan esok. Manusia sebagai penerima dan
menjadikannya pandangan hidup (weltanchaung) sekaligus sumber dari segala
sumber hukum dan ilmu. Kandungannya sebagai jawaban relatifitas makhluk
sekaligus pelengkap kesempurnaan ciptaan-Nya, yang kesemuanya akan menjadi
bahan pemikiran bagi manusia secara umum.
Keajaiban
Sastra Al-Quran
Al-Quran memiliki nilai tasbih (majas-asosiasi) yang
tinggi tertebar di mana-mana, antara lain dalam surah al-Baqarah yang
mengasosiasikan kerasnya hati manusia dengan batu, mentasbihkan hancurnya
tentara bergajah Abrahah yang hendak menghancurkan dengan daun-daun yang
dimakan ulat. Begitu pula dengan kandungan majas metafora (isti’aratun
tashrihiyyah)-nya yang selalu disebarkan Allah Swt. dalam maha karya-Nya. Salah
satunya dapat kita lihat dalam surah al-Baqarah: 257, kandungan sajak a-a-a-a
yang merupakan ciri khas sastra lama (manurut anggapan sastrawan masa kini)
kita temui di dalamnya. Kita lihat surah al-Ikhlash yang keseluruhan ayatnya
berakhiran huruf “dal”, surah al-Lahab
yang selalu berakhiran “ba’”, serta surah an-Nas yang selalu berakhiran “sin”.
Lain lagi dengan konsep makhluk dalam al-Quran bahwa
Allah Swt. telah menghiasi tujuh jenis makhlunya-Nya dengan tujuh macam hiasan.
Dapat disimpulkan, bahwa hal ini merupakan suatu indikasi kesempurnaan
ciptaan-Nya serta tambahan ilmu bagi manusia, bahwa di mata Tuhan, di balik
bilangan tujuh terselip parkara agung yang sarat rahasia dan nilai hikmah di
dalamnya, antara lain:
Pertama, cakrawala yang dihiasinya-Nya dengan tujuh
lapisan galaksi dengan taburan bitang gemintang.
Kedua, hamparan luas bumi yang dilengkapi tujuh aneka
bumi berikut dengan ragam lautannya yang membentang luas.
Ketiga, diciptakan-Nya tujuh tingkat neraka sebagai
klasifikasi adzabiyah makhluk-makhluk-Nya.
Keempat, al-Quran pun dihiasi-Nya dengan tujuh ayat,
surah al-Fatihah sebagai muqaddimah.
Kelima, masa usia manusia dibagi menjadi tujuh fase,
mulai dari masa radhi (menyusu), fathim (sapihan), shabi (kanak-kanak), ghulam
(pancaroba), syab (remaja), khal (tua), dan hingga masa syeikh (kakek-kakek).
Keenam, kemudian kejadian manusia pun disempurnakan
dengan tujuh anggota badan sebagai komunikasi paraktik ubudiyahnya.
Ketujuh, melengkapi alam dunia dan isinya, ia
diciptakan tujuh rangkaian hari-hari; sabtu, ahad, senin, selasa, rabu, kamis,
dan jum’at.
Nilai historis yang dikupas juga bergulir gamblang dan
rinci, dari hal kesejarahan para nabi-rasul, hingga rahasia kesejarahan khusus
lainnya yang sebelumnya tidak banyak dipublikasikan, dihadirkan dalam bahasa
segar dan enak dibaca. Seperti, kisah tentang Uthbah al-Ghulam, seorang
durhaka-durjana yang oleh kharisma karomah Syeikh Hasan al-Bashri telah insaf
dan menjadikannya penyeru keinsafan dan tobat kepada Allah.
Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada
keraguan sedikit pun tentang persepsi akan qadrat dan qadar Allah swt. Secara
eksplisit mau pun implisit (QS. Yasin/36: 82). Di dalamnya yang menjadi acuan
jabaran utamanya nilai etis-estetis esensi sebuah historika (kesejarahan)
berikut kompleksitas dan ajaran yang dikandungnya.
Maka dari itu, tak bisa disangkal lagi jika ada (atau
mungkin banyak sekali) sastrawan kontemporer yang mengambil isi al-Quran
sebagai acuan karya sastranya. Salah satunya adalah sastrawan Em. Ha. Ainun
Najdib, Kuswaidi Syafi’ie yang mengambil kalimat “nurun ‘ala nurin” dan
ditransiliasikan dengan cahaya Maha Cahaya.
*penulis
adalah aktivis Forum Kajian Mahasiswa Curtural Society (FKMCS) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar